TUMPENGAN DI ‘GERBONG’ KERETA MADURA
Oleh : Arif Rahman*
nusainsider.com — Suara reaktivasi jalur Kereta Api Madura beberapa bulan terakhir semakin nyaring memenuhi ruang-ruang publik, pamflet berbaris menemani pengguna jalan sepanjang rute Sumenep-Bangkalan.

Bupati Sumenep adalah tokoh yang paling semangat menyuarakan reaktivasi ketimbang Bupati lain di Madura. Kita bisa melihat betapa senyum indah Bupati Sumenep menghiasi pepohonan pinggir jalan, meski kita bisa merasakan bagaimana kerasnya paku menusuk jantung pohon itu.
Saya tidak paham apakah ini muncul hanya karena mendekati ‘hajatan’ politik elektoral, atau benar-benar satu kepastian yang disegerakan.
Sebetulnya, program reaktivasi jalur kereta Madura bukan sesuatu yang baru. Sejak tahun 2019, Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 80 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik – Bangkalan – Mojokerto – Surabaya – Sidoarjo – Lamongan, Kawasan Bromo – Tengger – Semeru, Serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan.
Bak gayung bersambut, beberapa tokoh di Sumenep telah membuka lebar-lebar telapak tangannya, menandakan bahwa mereka menyambut baik reaktivasi Kereta Api Madura.
Padahal, Kereta Api Madura memiliki sejarah pahit. Dinyatakan Bangkrut sejak 5 (lima) tahun sebelum Indonesia Merdeka. Stasiunnya pelan-pelan ditutup, besi rel dicabut dijadikan senjata oleh Jepang.
Saat ini aset milik KAI (Kereta Api Indonesia) yang membentang di Madura, sebagian besar telah dikuasai masyarakat. Hal ini tidak bisa dianggap mudah.
Secara antropologis, Madura memiliki karakter yang khas. Lain lagi Suramadu yang tidak di rancang untuk perlintasan Kereta Api, menambah catatan panjang menuju keruwetan Reaktivasi. Merencanakan kegagalan yang sama dengan Belanda.

Syahdan, saya mencoba untuk mencari alasan rasional – setidak-tidaknya untuk saya pribadi – supaya turut mengatakan ‘Iya’ pada reaktivasi Jalur KA Madura.
Sayangnya, saya justru menemukan hal yang lebih rasional dan lebih penting ketimbang reaktivasi Kereta Api.
Peraturan Presiden RI Nomor 80 Tahun 2019 tidak bicara kereta api secara spesifik dalam upaya pembangunan kawasan, melainkan semua hal yang pada pokoknya menjadi penunjang utama percepatan pembangunan ekonomi.
Di dalam Perpres tersebut, Kabupaten Sumenep setidaknya memiliki 11 program atau proyek yang lebih rasional untuk dikejar ketimbang reaktivasi kereta. Misalnya Seperti pelebaran Jalan Sumenep-Pamekasan dengan estimasi biaya 230 M, Pengadaan Kapal Perintis (150M), Pembangunan Bandara Kangean (241M), Pengadaan Kapal Cepat antar Pulau (50M), Pengembangan Pelabuhan Kangean (210M), Pengembangan Pelabuhan Pagerungan (170M), Pengembangan Pelabuhan Masalembu (170M), Pengembangan Pelabuhan Raas (170M), semua itu dibiayai APBN.
Apakah beberapa program atau proyek-proyek di atas tidak lebih realistis dan rasional untuk terus diupayakan dengan baik ketimbang menghayal pembangunan di luar Sumenep? Ini bukan soal primordialisme atau fanatisme kedaerahan, melainkan soal territorial ‘kerja’ Bupati Sumenep agar tidak offside.
Lebih mengejutkan lagi, beberapa tokoh telah ramai menyiapkan ‘tumpeng’ lebih awal, sementara lilin belum dihidupkan.
Mestinya kita ingat, tugas kita adalah memastikan bahwa lilin itu menerangi rumah kita bersama.
Penulis, Volunteer pada Penerbit Koma Media sekaligus Anak buah di LPMK