SUMENEP, nusainsider.com — Sosok pengusaha sekaligus wartawan pertama Kabar Madura, Alfian Marsuto, menegaskan pentingnya keberpihakan terhadap usaha padat karya di daerah.
Ia menilai, monopoli industri rokok besar seperti PT Gudang Garam Tbk justru berpotensi menekan perekonomian lokal dan memperlebar kesenjangan sosial.

Menurut Alfian, masyarakat harus berpihak pada usaha yang memberi manfaat langsung bagi tenaga kerja lokal.
“Usaha padat karya mari kita dukung, usaha monopoli mari kita tolak,” tegasnya saat ditemui Media nusainsider.com, Selasa (11/11/2025).
Ia menyoroti dampak nyata dari sistem distribusi cukai rokok yang selama ini tidak berpihak pada Kabupaten Sumenep. Salah satu persoalan utama, kata Alfian, adalah dominasi PT Gudang Garam Tbk yang menjadikan Kediri sebagai pusat penebusan pita cukai, bukan daerah tempat produksi seperti Sumenep.
“Sumenep kini menempati posisi nomor tiga daerah termiskin di Jawa Timur, salah satunya akibat Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) Gudang Garam tidak masuk ke sini. Semuanya ditarik ke Kediri,” ujarnya menegaskan.
Lebih lanjut, Alfian mengungkapkan bahwa sekitar 10 persen dari Surat Pemberitahuan Pajak Rokok (SPPR) yang seharusnya menjadi hak daerah justru tidak masuk ke kas Sumenep.
Dana tersebut, katanya, langsung disetorkan ke perusahaan di Kediri sebagai lokasi penebusan pita cukai.
“Ini baru dari satu perusahaan rokok saja yang beroperasi di Sumenep. Potensi kebocoran pajak daerah bisa jauh lebih besar jika dibiarkan,” imbuhnya.
Ia menilai sistem penebusan pita cukai yang tersentral di Kediri menjadi akar masalah ketimpangan ekonomi antarwilayah. Akibatnya, daerah-daerah penghasil bahan baku tembakau seperti Sumenep tidak memperoleh manfaat ekonomi yang semestinya.
PT Gudang Garam Tbk sendiri, kata Alfian, berdiri sejak tahun 1958. Namun perusahaan tersebut baru membayar cukai sekitar tahun 2007. Sebelumnya, pembayaran hanya terbatas pada pajak karena regulasi cukai belum diberlakukan.
“Pertanyaannya, kenapa Gudang Garam masih punya utang cukai ke negara dan tetap dibiarkan beroperasi? Kenapa tidak dibekukan seperti perusahaan-perusahaan lokal yang justru taat aturan?” tanya Alfian.
Ia menilai kebijakan pemerintah cenderung berat sebelah. Perusahaan besar seperti Gudang Garam tetap mendapatkan izin beroperasi meskipun masih memiliki tunggakan kewajiban cukai.
Sementara itu, industri lokal yang tidak pernah menunggak justru dibekukan karena tidak menggunakan pita cukai.
“Negara seharusnya menegakkan keadilan ekonomi. Kalau perusahaan besar menunggak, ya harus dibatasi operasionalnya. Jangan hanya yang kecil dibekukan,” ujar Alfian dengan nada kritis.
Selain masalah cukai, Alfian menyoroti kontribusi tenaga kerja industri rokok di Sumenep. Berdasarkan datanya, jumlah pekerja rokok di luar jaringan Gudang Garam jauh lebih banyak dibandingkan tenaga kerja yang bergabung di pabrik milik perusahaan besar itu.
“Pekerja di industri rokok lokal di Sumenep jumlahnya jauh lebih besar daripada yang ada di pabrik Gudang Garam. Padahal Gudang Garam sudah lama beroperasi di sini,” jelasnya.
Secara nasional, Gudang Garam hanya menguasai sekitar 34 persen pangsa pasar rokok Indonesia. Namun jumlah pekerjanya di seluruh Indonesia hanya sekitar 34.000 orang. Bandingkan dengan tenaga kerja di industri rokok lokal yang jumlahnya lebih dari 100.000 orang dan tersebar di berbagai daerah.
“Artinya, usaha padat karya dari industri rokok lokal jauh lebih banyak menyerap tenaga kerja. Maka semestinya pemerintah berpihak ke mereka,” tutur Alfian.
Ia menilai, keberadaan pabrik besar seperti Gudang Garam seringkali hanya menguntungkan pusat dan pemegang saham, sementara daerah tidak menikmati dampak langsung. Padahal, daerah seperti Sumenep menjadi pemasok bahan baku dan tenaga kerja penting bagi industri tersebut.
Dari sisi penerimaan negara, industri rokok memang menjadi kontributor besar. Lebih dari 70 persen pendapatan negara berasal dari sektor ini, dengan rincian 50 persen disetor ke pusat, 10 persen dari Pajak Penghasilan (PPH), dan sekitar 10 persen dari SPPR untuk daerah.
Namun, porsi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang diterima daerah penghasil hanya sekitar 5 persen atau bahkan kurang. Kondisi ini dinilai tidak adil karena beban sosial, kesehatan, dan ekonomi akibat industri tembakau justru lebih besar dirasakan di daerah penghasil.
“Kalau daerah hanya menerima kurang dari lima persen, sementara pusat mengambil 70 persen lebih, bagaimana bisa daerah berkembang?” tanya Alfian.
Ia pun menyerukan agar kebijakan fiskal dan tata kelola cukai di Indonesia direvisi. Daerah penghasil tembakau, seperti Sumenep dan Madura pada umumnya, harus memperoleh porsi DBHCHT yang lebih besar agar bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
“Selama ini masyarakat di daerah penghasil tembakau tidak pernah benar-benar menikmati hasil dari industri ini. Yang kaya adalah korporasi besar dan kota besar, sementara petani dan buruh tetap miskin,” tegasnya.
Alfian juga mengajak seluruh elemen masyarakat, mulai dari pemerintah daerah hingga organisasi sosial, untuk bersama memperjuangkan keadilan ekonomi dan keberpihakan terhadap usaha padat karya.
“Kalau ingin mengurangi kemiskinan, maka kuncinya adalah memperkuat ekonomi berbasis kerja manusia, bukan monopoli mesin dan modal besar,” pungkasnya.
Hingga Berita ini dinaikkan, pihak pewarta belum punya akses guna konfirmasi ke PT Gudang Garam Tbk.
![]()
Penulis : Wafa

















