OPINI, nusainsider.com — Kurang lebih enam bulan menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto telah menerapkan berbagai kebijakan yang mencerminkan arah baru bagi Nusantara.
Sejumlah kebijakan ini menuai diskusi luas, terutama terkait efisiensi anggaran dan pembahasan RUU TNI.

Efisiensi anggaran yang diberlakukan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan dana publik.
Namun, kebijakan ini menimbulkan tantangan tersendiri yang harus diperhitungkan agar tidak menghambat pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu dampak utama dari efisiensi anggaran adalah berkurangnya alokasi dana untuk program daerah yang telah direncanakan sebelumnya.
Jika tidak diimbangi dengan strategi yang tepat, kebijakan ini dapat memperlambat pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat.

Efisiensi anggaran juga dapat memicu ketimpangan antara daerah yang memiliki pendapatan mandiri dan daerah yang bergantung pada dana transfer dari pusat.
Ketimpangan ini berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi antarwilayah, yang dapat memperburuk disparitas sosial dan ekonomi di Indonesia.
Di sisi lain, efisiensi anggaran mendorong pemerintah daerah untuk lebih inovatif dalam mencari sumber pendapatan lain.
Namun, tanpa regulasi yang jelas, ada risiko peningkatan pungutan pajak daerah yang dapat membebani masyarakat serta menghambat pertumbuhan usaha kecil dan menengah.
Sementara itu, pembahasan mengenai RUU TNI menjadi topik yang tidak kalah penting. RUU ini mendapat sorotan karena dinilai berpotensi memperkuat kembali dwi fungsi TNI, yang sebelumnya telah dihapus dalam rangka reformasi demokrasi pasca-Orde Baru.
Jika RUU TNI disahkan dengan ketentuan yang memperluas peran TNI dalam ranah sipil, ada risiko terjadinya tumpang tindih kewenangan dengan institusi lain. Hal ini dapat menimbulkan ketidakjelasan dalam kebijakan publik serta berpotensi mengganggu sistem demokrasi yang telah dibangun selama dua dekade terakhir.
Peningkatan peran TNI dalam urusan sipil juga berisiko mengurangi dominasi pemerintahan sipil dalam pengambilan keputusan.
Demokrasi yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998 dapat menghadapi tantangan baru jika keseimbangan antara sipil dan militer tidak dijaga dengan baik.
Namun, pendukung RUU TNI berpendapat bahwa peran TNI perlu diperkuat dalam menjaga stabilitas nasional, terutama di tengah tantangan global yang semakin kompleks.
Keterlibatan TNI dalam aspek-aspek strategis diharapkan dapat mempercepat pembangunan nasional dan meningkatkan ketahanan negara terhadap berbagai ancaman.
RUU TNI juga membuka peluang bagi TNI untuk lebih berperan dalam menghadapi ancaman non-militer, seperti bencana alam, serangan siber, dan krisis kesehatan. Jika diterapkan dengan pengawasan yang ketat, hal ini dapat menjadi nilai tambah dalam upaya memperkuat ketahanan nasional.
Dengan berbagai pro dan kontra terkait efisiensi anggaran dan RUU TNI, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil diterapkan secara transparan dan tetap berpihak pada kepentingan rakyat.
Kebijakan yang baik harus mengutamakan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi.
Dialog antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat sipil harus diperkuat agar kebijakan yang diterapkan tidak menimbulkan ketimpangan atau ketidakadilan.
Keberlanjutan pembangunan yang merata harus menjadi prioritas dalam menyusun kebijakan agar tidak ada daerah yang tertinggal.
Pada akhirnya, keberhasilan pemerintahan Prabowo dalam mengelola isu-isu ini akan sangat menentukan arah masa depan Indonesia. Kebijakan yang diambil harus mencerminkan semangat reformasi, efisiensi, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat agar Nusantara dapat berkembang dengan stabil dan berkeadilan.
*) Penulis : Ach Toifur Ali Wafa, Pimred Media nusainsider.com Sekaligus CEO Aktivis Aliansi Pemuda Reformasi Melawan (ALARM) Kabupaten Sumenep.
Penulis : Ali