SELINGKUH TANPA MENYENTUH
Part 1
“Hati-hati. Jangan sampai ketahuan suamimu.”
Winda tersenyum membaca pesan itu. Dia melirik Hamka, suaminya, yang sedang asyik menonton televisi. Jarinya kemudian bergerak lincah membalas, “Tenang aja. Aman.”
Dengan jantung berdebar-debar, Winda menunggu chat dari Rion lagi. Laki-laki itu terlihat sedang mengetik cukup lama, seolah sengaja ingin menguji kesabaran Winda.
Rion, laki-laki itu membuat dunia Winda yang sebelumnya hambar dan monoton jadi lebih berwarna. Selalu ada topik obrolan seru yang membuat jantungnya bertalu-talu dan pipinya bersemu.
Lagi-lagi, bibir ranum Winda melengkung, membentuk seulas senyum. Seperti perawan yang tengah kasmaran, jiwanya seakan melambung ke awang-wang. Dia sampai lupa dengan kehadiran suami dan kedua anaknya yang berada di sampingnya.
Hanya lewat kata-kata saja, Rion selalu bisa membuat Winda berbunga-bunga. Lelaki itu pandai sekali menyemarakkan sisi hati yang sepi.
“Mama, e’ek!”
Seruan itu seolah mengempaskan Winda ke dasar jurang. Dia mendengkus, lalu mengantongi ponsel ke saku daster sebelum akhirnya membawa putri bungsunya ke kamar mandi.
Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga tidak ada habisnya. Pagi, siang, malam, Winda harus tetap siaga dan bersedia kapan pun dibutuhkan oleh anak-anaknya. Hamka? Lelaki itu terkadang memang turut andil, tapi hanya seperlunya.
Seusai menemani si Bungsu ke toilet, Winda pun kembali ke ruang tengah. Dia duduk di samping Hamka yang hanya menoleh sekilas.
Sepuluh tahun pernikahan, suasana rumah terasa semakin menjemukan. Winda baru sadar bawa dia menikah dengan laki-laki dingin yang irit bicara. Sama sekali tidak mengasyikkan.
Winda heran mengapa dulu dia jatuh cinta kepada Hamka. Sekarang, dia sampai mencari-cari bagian mana dari suaminya yang menarik. Sepertinya tidak ada. Hamka memang tampan dan mapan, tapi sekarang semua itu bukanlah hal yang istimewa. Pandangan Winda terhadap sang suami seolah menjadi samar setelah mengenal Rion.
Seandainya bisa memutar waktu, Winda tentu ingin mengenal Rion lebih dulu. Dia membayangkan betapa serunya hidup bersama laki-laki yang memiliki hobi seperti dirinya. Ya, selain menyukai otomotif, Rion suka memasak. Lelaki itu pernah mengikuti ajang memasak bergengsi di salah satu stasiun televisi.
Walaupun tidak jadi juara, tapi Rion lumayan populer. Dia juga rajin membuat konten memasak di media sosialnya. Dari konten kuliner pula mereka bertemu. Winda membubuhkan tanda suka pada postingan lelaki itu beberapa kali sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berkomentar.
Gayung bersambut. Dengan ramah Rion membalas komentar Winda. Bahkan lelaki itu juga mem-follow akun Winda lebih dulu sebelum akhirnya meminta nomor WhatsApp melalui DM.
Mulanya, obrolan mereka hanya sebatas masakan. Namun, lambat laun Rion mulai menceritakan kehidupan pribadinya. Tentang istrinya yang seorang alpha female, tentang sepinya rumah tanpa anak, dan lain sebagainya. Tak mau kalah, Winda pun mengeluhkan Hamka yang notabene workaholic.
Dari saling curhat itu pula, akhirnya mereka intens berkomunikasi. Tidak ada hari yang terlewat tanpa bertukar kabar.
“Belum ngantuk, Ma?”
Winda sedikit terlonjak begitu mendengar pertanyaan Hamka. Dia menurunkan ponsel dari jangkauan mata dan lekas bangkit.
“Ngantuk, Pa. Mama ke kamar dulu, ya.” Langkah Winda tergesa karena ingin membalas pesan Rion lagi. Kebetulan juga, lelaki itu minta dirinya untuk mengirim foto sebelum tidur.
Karena memiliki kesibukan baru, selama dua bulan terakhir ini Winda menyerahkan tugas menidurkan anak-anak kepada Hamka. Awalnya dia beralasan tidak enak badan, tapi lama-lama keterusan.
Di kamar, setelah mengganti daster dengan gaun tidur satin, Winda selfie. Setelah merasa fotonya bagus, barulah dia mengirim kepada Rion.
“Cantik banget istri orang.”
Winda mengulum senyum. Iseng, dia membalas, “Cantikan istri kamu kali.”
“Serius. Kamu tuh cantiknya beda. Nggak ngebosenin.”
Perempuan mana yang tidak tersanjung dipuji seperti itu? Winda yang jarang dipuji oleh Hamka, tentu bahagia luar biasa. Dia merasa usahanya untuk merawat diri tidak sia-sia.
Hamka masuk kamar setengah jam kemudian setelah kedua anaknya terlelap. Melihat Winda mengenakan gaun tidur, dia beranggapan bahwa istrinya sudah lama menanti dirinya.
***
Dulu, bangun tidur adalah awal kesibukan. Winda harus berkutat dengan dapur, menyiapkan sarapan untuk anak-anak dan suaminya. Belum lagi membersihkan rumah dan mencuci baju, sungguh hal itu sangat membosankan. Namun, kehadiran Rion membuat Winda jadi bersemangat. Hal pertama yang dilakukan setiap bangun tidur adalah mengirim pesan kepada lelaki itu, sekadar mengucapkan selamat pagi.
Dua bulan belakangan, dapur terasa lebih semarak. Sembari memasak, Winda akan bersenandung. Lagu-lagu khas orang kasmaran didendangkan.
Awalnya, Hamka heran karena tidak biasanya Winda seperti itu. Namun, dia mengabaikan karena berpikir Winda butuh hiburan. Kebetulan, lagu yang dinyanyikan pun sedang hits.
“Kamu nggak sarapan, Ma?” tanya Hamka. Dia dan kedua anaknya sudah duduk di meja makan.
“Duluan aja. Mama kan harus nyiapin bekal kalian.”
Winda tidak bohong. Dia memang belum menyiapkan bekal untuk suami dan anak sulungnya.
Berkat Rion juga, Winda tidak memasak menu yang monoton. Selalu ada resep-resep baru dari lelaki itu yang bisa dieksekusi.
Dapur yang menyatu dengan meja makan membuat Winda biasa memperhatikan Hamka dan anak-anaknya sarapan. Tiba-tiba dia membayangkan seandainya saja suaminya adalah Rion … pasti lelaki itu akan membantunya berkutat di dapur, bukan terima beres dan tinggal menikmati saja.
Winda menghela napas, mau protes sekeras apa pun kepada Tuhan, kenyataan tidak akan berubah. Dia adalah istri Hamka, sedangkan Rion juga punya keluarga. Mustahil baginya untuk bersama.
Winda tahu dirinya salah, tapi sulit baginya untuk mengenyahkan bayangan Rion. Lelaki itu terlalu mempesona, idaman kaum Hawa.
“Beruntung banget istrimu,” gumam Winda dalam hati.
Aroma sangit sosis yang dipanggang membuat Winda langsung mematikan oven. Karena terburu-buru juga, dia sampai lupa mengenakan sarung tangan ataupun pencapit. Alhasil, jarinya melepuh menyentuh loyang yang digunakan untuk memanggang.
Kekacauan pagi itu bukan tanpa sebab. Winda resah karena dari tadi Rion belum membalas pesannya. Seperti ada yang kurang, semangat yang sempat meluap-luap pelahan menguap.
Meski hatinya sedikit kacau, Winda tetap lanjut menyiapkan bekal sembari terus berharap Rion menghubunginya.
“Ma … e’ek!”
Si Bungsu yang berusia tiga tahun merengek. Winda pun meninggalkan dapur dengan tergesa.
“Pa, bekalnya belum aku tutup!” Winda berkata sembari membawa anaknya ke toilet. Telat sedikit saja bisa membuat pekerjaannya bertambah banyak. Si Bungsu memiliki kebiasaan tidak bisa menahan rasa mulasnya.
Setelah beres dengan urusan si Bungsu, Winda pun keluar dari toilet. Alangkah terkejutnya perempuan itu saat melihat Hamka berdiri di dekat meja dapur sembari memegang ponselnya.
Mengetahui kehadiran Winda, Hamka berbalik. Lelaki itu menunjukkan layar ponsel ke arah istrinya.
“Ini maksudnya apa, Ma?”
Winda menelan ludah dengan susah payah. Dia terlalu ceroboh meninggalkan ponsel begitu saja. Karena selama ini Hamka tidak pernah ikut campur urusannya, Winda pun tidak mengganti password handphone. Dan yang lebih parahnya lagi, nomor Rion diberi emotikon bentuk hati di belakang namanya.
Wajah Winda pucat pasi. Dia tidak menemukan alasan apa pun untuk berkelit.
“Sejak kapan?”
Suara pelan Hamka terdengar begitu mengerikan.
***
Hai, cerita Selingkuh Tanpa Menyentuh sudah bab 3 di KBM App. Silahkan mampir ke akun FB Julli_Nobasa.