SUMENEP, nusainsider.com — Lembaga legislatif Kabupaten Sumenep kembali menjadi sorotan publik. Deretan kasus yang menimpa anggota DPRD setempat membuat citra lembaga ini kian tercoreng, bahkan terkesan tengah dilanda krisis integritas.
Beberapa bulan terakhir, DPRD Sumenep mengalami guncangan beruntun. Dimulai dari penahanan salah satu anggotanya yang terjerat kasus narkoba, kini lembaga itu kembali dihadapkan pada polemik yang lebih kompleks.

Kasus terbaru yang mengemuka adalah dugaan jual beli Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) oleh mantan anggota DPRD dari Fraksi PPP periode 2019–2024, H. Latib, yang diduga kuat bermasalah secara prosedural maupun substansial.
Dugaan itu mengarah pada program BK Desa yang seharusnya ditujukan bagi masyarakat di Dapil daratan, namun justru dialihkan ke wilayah kepulauan. Bahkan, program tersebut diduga akan fiktif dan berpotensi tidak terealisasi.
Tak hanya itu, Ketua DPRD Sumenep juga turut menjadi sorotan setelah dipanggil aparat penegak hukum terkait kasus pemerasan terhadap seorang mucikari di Kecamatan Ambunten, yang menambah panjang daftar kontroversi di tubuh legislatif.
Menanggapi rentetan peristiwa tersebut, Miftahul Arifin selaku pengurus Aliansi Pemuda Reformasi Melawan (ALARM) Kabupaten Sumenep menyayangkan kondisi yang menimpa lembaga yang seharusnya menjadi benteng demokrasi tersebut.

“Lembaga yang memiliki kewenangan membuat, mengubah, dan mencabut undang-undang, serta memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran, kini justru bermain-main dengan anggaran rakyat,” ungkap Miftah kepada nusainsider.com, Rabu 9 April 2025.
Ia menegaskan bahwa dugaan jual beli Pokir oleh H. Latib perlu segera diselidiki secara menyeluruh oleh aparat penegak hukum (APH), agar tidak menjadi preseden buruk di masa mendatang.
“Kasus ini harus diaudit secepatnya. Kalau dibiarkan, jangan kaget jika anggota DPRD baru akan mengikuti jejak yang sama. Ujung-ujungnya, rakyat yang kembali jadi korban,” imbuh Miftah.
Menurutnya, praktik semacam itu tak hanya merugikan secara finansial, namun juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi, khususnya pada lembaga legislatif daerah.
Ia juga menyoroti praktik reses atau penyerapan aspirasi yang dilakukan oleh anggota dewan, yang seharusnya menjadi sarana menyerap kebutuhan masyarakat, justru berpotensi hanya menjadi formalitas belaka.
“Reses bisa jadi cuma acara seremonial tanpa makna. Kalau hasilnya hanya untuk dijual dalam bentuk proyek Pokir yang tidak tepat sasaran atau bahkan fiktif, maka itu jelas pengkhianatan terhadap rakyat,” katanya.
Miftah juga menambahkan bahwa publik Sumenep kini semakin kritis dan tidak bisa lagi dibodohi oleh program-program populis yang ternyata menyimpan banyak kepentingan pribadi.
Ia menilai, sudah waktunya institusi seperti Inspektorat dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI turun tangan melakukan investigasi menyeluruh terhadap penggunaan dana Pokir.
“Kalau perlu KPK juga turun. Karena yang dirugikan bukan hanya masyarakat Sumenep, tapi juga sistem demokrasi kita secara keseluruhan,” tegas Miftah.
Miftah menambahkan bahwa Kasus-kasus yang muncul akhir-akhir ini seolah menunjukkan bahwa sebagian legislator telah kehilangan kompas moral dan lupa bahwa jabatan yang mereka emban adalah amanah, bukan alat transaksi kekuasaan.
Dugaan jual beli Pokir ini bisa dikenakan pasal pidana korupsi, apalagi jika terbukti bahwa dana APBD telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
“Kalau Pokir sudah diperdagangkan, maka jangan harap pembangunan akan merata. Desa hanya akan dapat proyek asal-asalan, atau bahkan tidak dapat sama sekali,” Tambahnya Menutup.
Sebagaimana diketahui, Pokir adalah hasil penyerapan aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui anggota DPRD dan dialokasikan dalam bentuk program pembangunan melalui APBD.
Namun dalam praktiknya, Pokir kerap menjadi ajang transaksi kepentingan, baik untuk pengusaha proyek maupun untuk kepentingan politik anggota dewan itu sendiri, yang menyalahgunakan mandat dari konstituennya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari H. Latib terkait tuduhan tersebut. Pihak pewarta berupaya konfirmasi, namun akun WhatsAppnya sepertinya sudah ganti Nomor.
Begitu juga dari pihak Pj Kepala Desa Saur-saebus Marjuni belum ada Respon meskipun WhatsAppnya terlihat aktif dan bahkan Terlihat Berdering.
Penulis : Syaif
Editor : Wafa