JATIM, nusainsider.com — Menjelang pergantian Tahun 2024 menuju Tahun 2025, pelaku kejahatan Mafia Tanah marak terjadi ditengah masyarakat Indonesia.
Kejahatan di bidang pertanahan tersebut dilakukan secara sistematis dengan persekongkolan jahat demi merebut hak atas nama atau kepemilikan tanah seseorang dengan cara liciknya.
Bahkan tidak sedikit korban Mafia Tanah berasal dari masyarakat menengah bawah atau masyarakat tidak mampu serta tidak memahami mekanisme hukum pertanahan.
Hal tersebut menjadi konsentrasi Lia Istifhama selaku founder dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ‘Srikandi Bakti Insani’, dia mengungkapkan jika Kejahatan mafia tanah dapat pula disebut sebagai salah satu bagian kejahatan merah putih, disebabkan kejahatan tersebut ditempuh secara cerdik dan melibatkan beberapa pihak yang merupakan sosok profesionalis di bidangnya.
“Kejahatan kerah putih-pun pada kenyataanya, tidak selalu berkutat dalam pencaplokan sertifikat tanah orang lain, melainkan juga berbentuk penipuan melalui akta perjanjian,” ungkapnya.
Ning Lia sapaan akrab Lia Istifhama mencontohkan kasus yang di alami LS, warga Jakarta yang tertipu akibat kejahatan mafia tanah hingga 30 M.
“Ada korban LS, warga DKI Jakarta yang mengalami kerugian hingga 30 miliar. Kerugian ini berupa hilangnya aset rumah miliknya di Jalan Pinang Raya, Cilandak, Jakarta Selatan. Kejadian bermula saat LS bermaksud mengajukan pinjaman 9 miliar kepada seorang ‘debitur’ yang baru saja dikenalnya.
Melalui rekannya tersebut, LS pun diminta mengajukan jaminan sertifikat rumah senilai 30 miliar. Jaminan tersebut dipahami LS sebagai syarat perjanjian utang piutang. LS pun menyetujui dengan menandatangani akta perjanjian di depan notaris,” jelasnya.
Kemudian lanjut Ning Lia, LS tidak melihat kalimat yang menunjukkan jual beli, dan LS sepenuhnya memahami perjanjian tersebut sebagai perikatan utang piutang dan menandatangani sesuai arahan oknum notaris yang ditunjuk oleh sosok yang dikenalnya sebagai ‘debitur’. LS pun mendapatkan uang yang dipahaminya sebagai ‘pinjaman’ senilai 9 miliar.
“LS sempat membayar angsuran sebanyak 4 kali sebelum kemudian LS dikejutkan dengan ulah pelaku bersama notaris membuat akta jual beli berdasarkan Kuasa Mutlak. Dari kejadian tersebut, barulah LS menyadari bahwa tanda tangan dalam perjanjian yang dipahaminya sebagai utang piutang, ternyata PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) dan akta kuasa jual.
Lewat surat kuasa mutlak itu, pelaku bisa dengan leluasa mengelola aset milik korban. Termasuk, melakukan proses balik nama atas sertifikat rumah LS yang berujung pengusiran LS dari rumahnya,” ceritanya.
Serupa dengan pahitnya kisah LS, lanjut Lia Istifhama ada seorang pengasuh pondok pesantren, digugat dengan alasan tidak menyerahkan pondok yang telah dijualnya.
Padahal kenyataannya, pengasuh ponpes tersebut tidak memiliki niat sama sekali untuk menjual aset miliknya yang dihuni sekitar 90 santriwati, melainkan berniat mengajukan pinjaman modal kepada seorang debitur yang dikenalnya.
“Namun seperti modus yang mengorbankan LS, debitur yang membujuk rayu pengasuh ponpes tersebut, menunjuk oknum notaris dalam sebuah perjanjian. Perjanjian yang dipahami oleh pengasuh ponpes sebagai perjanjian utang piutang, ternyata Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan akta kuasa jual,” paparnya.
Atas dua kejadian tersebut adalah dua dari banyak contoh kejahatan mafia tanah yang mencaplok aset korban melalui ikatan jual beli dengan modus utang piutang.
“Dari kejadian-kejadian seperti itu, penting kiranya bagi semua masyarakat untuk selalu memegang satu kalimat yakni ‘Jangan mudah tanda tangan perjanjian dan jangan mudah menyerahkan sertifikat anda’ ,” tegas Ketua LBH Srikandi Bakti Insani. (*)
Penulis : Mam