SUMENEP, nusainsider.com — Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STKIP PGRI Sumenep secara resmi menyampaikan sikap kritis terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepolisian Negara Republik Indonesia atau RUU Polri yang tengah dibahas di DPR RI bersama pemerintah.
RUU yang merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tersebut dinilai berpotensi mengancam prinsip demokrasi, akuntabilitas, dan supremasi sipil jika tidak dikawal secara ketat oleh masyarakat.

Dalam siaran persnya, Presiden Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, Moh. Nurul Hidayatullah, menegaskan bahwa revisi ini memiliki sejumlah pasal kontroversial yang cenderung memperluas kewenangan Polri secara berlebihan dan tanpa kejelasan batas pengawasan.
“Revisi ini bukan memperkuat profesionalisme atau transparansi, tapi justru membuka peluang terjadinya monopoli kekuasaan oleh institusi kepolisian,” tegasnya.
Salah satu pasal yang dikritik keras adalah Pasal 6 yang memperluas wilayah yurisdiksi Polri, termasuk ke ruang siber, kapal berbendera Indonesia di laut internasional, dan pesawat udara. Hal ini dinilai menyalahi filosofi dasar Polri yang seharusnya fokus pada Kamtibmas.
Menurut BEM STKIP, perluasan wilayah seperti ini berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara Polri dengan TNI, terutama dalam situasi keamanan luar negeri seperti pembajakan pesawat atau kapal di luar teritori nasional.
Pasal lain yang menjadi sorotan adalah Pasal 14 huruf b dan c, yang memberi Polri kewenangan membina dan mengawasi ruang siber serta lalu lintas jalan. Padahal, ruang siber merupakan ranah lintas lembaga, seperti Kominfo, BSSN, hingga TNI.

“Jika semua aspek ruang siber diawasi oleh Polri, maka lembaga lain seperti Kominfo dan BSSN bisa kehilangan peran. Ini justru melemahkan koordinasi lintas sektor,” lanjutnya.
Selain itu, Pasal 14 huruf g dan h yang memberi kewenangan Polri melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana juga dianggap problematik karena mengancam independensi lembaga seperti Kejaksaan, KPK, dan penyidik dari kementerian lain.
Poin lainnya yang disoroti adalah Pasal 16 yang memberi kewenangan Polri memblokir atau memperlambat akses ruang siber dengan dalih keamanan dalam negeri. Menurut BEM, konsep keamanan dalam negeri terlalu luas untuk dijalankan hanya oleh satu institusi.
Tugas Polri, lanjut siaran pers tersebut, adalah Kamtibmas. Bukan Kamdagri dalam arti luas yang semestinya menjadi urusan bersama banyak kementerian/lembaga seperti TNI, BSSN, Kominfo, BNPB, dan lainnya.
BEM STKIP PGRI Sumenep juga mengkritik pemahaman keliru tim penyusun naskah akademik revisi UU Polri yang menyebut Polri sebagai alat negara di bidang keamanan. Padahal menurut UUD 1945, tugas Polri terbatas pada perlindungan, pelayanan, dan penegakan hukum.
“RUU Polri harusnya diarahkan untuk memperkuat profesionalisme dan kepercayaan publik, bukan memperluas kekuasaan tanpa batas,” tegas Nurul Hidayatullah.
Salah satu rekomendasi BEM adalah agar kewenangan Polri tidak tumpang tindih dengan lembaga lain, serta dibatasi secara jelas melalui kontrol demokratis dan partisipasi publik dalam pembentukan peraturan.
Selain itu, BEM meminta agar masa jabatan Kapolri yang turut direvisi dalam RUU ini disertai dengan mekanisme uji kelayakan terbuka agar tidak menjadi alat kekuasaan politik.
Dalam draf RUU, Polri juga diberi kewenangan untuk menjalankan kegiatan intelijen berskala nasional yang menyentuh isu ideologi, ekonomi, hingga keamanan energi. Ini dinilai terlalu luas dan berpotensi mengambil alih peran lembaga intelijen negara seperti BIN dan BAIS TNI.
“Usulan perluasan wewenang Intelkam hingga mengurusi keamanan nasional jelas melewati batas. Ini menunjukkan kecenderungan menjadikan Polri sebagai lembaga superbodi,” tegas siaran pers itu.
BEM STKIP juga mengusulkan perubahan nama lembaga intelijen Polri dari Baintelkam menjadi Baintelkamtibmas agar tidak disalahartikan sebagai pengemban tugas keamanan nasional secara menyeluruh.
Dalam penutupnya, BEM menyatakan bahwa RUU Polri versi saat ini belum mencerminkan arah reformasi kelembagaan yang benar. Revisi seharusnya memperkuat transparansi dan hak asasi manusia, bukan menjadi alat untuk sentralisasi kekuasaan.
“Kami menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil untuk mengawal pembahasan RUU ini secara kritis. Jangan sampai kekuasaan tanpa batas menggerus demokrasi kita,” tutup Nurul.
Penulis : Mif