OPINI, nusainsider.com — Kasus dugaan korupsi pengadaan meubelair tahun 2016 di Kabupaten Sumenep seolah menjadi catatan kelam yang tak kunjung terselesaikan.
Di tengah geliat pembangunan dan jargon pemerintahan bersih, aroma penyimpangan masa lalu itu kembali menyeruak, mengingatkan publik bahwa keadilan kadang tersandera oleh waktu dan kekuasaan.

Kasus ini bermula dari program pengadaan meubelair untuk sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas di enam kecamatan, termasuk wilayah terpencil seperti Sapeken.
Proyek dana Hibah bernilai Rp16,2 miliar itu bersumber dari APBD Provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2016 dan dilaksanakan oleh CV. Cahaya Shifin Abadi dengan sistem kontrak lumpsum serta pembayaran bertahap.
Tujuan awalnya tentu mulia: menyediakan meja dan kursi layak bagi pelajar di ujung timur Madura. Namun, aroma janggal tercium ketika ditemukan dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan proyek.
Indikasi penggelembungan harga, pengadaan fiktif, hingga kualitas barang yang tak sesuai spesifikasi, menjadi titik awal kecurigaan publik terhadap proyek yang didanai uang rakyat ini.
Kini, sembilan tahun berselang, Kejaksaan Negeri Sumenep dikabarkan mulai membuka kembali lembaran lama tersebut. Sebuah langkah yang patut diapresiasi, meski publik bertanya-tanya: mengapa baru sekarang? Selama hampir satu dekade, kasus ini seperti hilang ditelan bumi, tanpa kejelasan siapa yang harus bertanggung jawab.
Sumber internal di lingkungan pemerintahan menyebut, ada indikasi kuat bahwa oknum Dinas Pendidikan saat itu turut terlibat. Sosok yang kini disebut-sebut telah menempati posisi strategis di organisasi perangkat daerah (OPD) lain, bahkan disebut menjabat sebagai kepala dinas. Pertanyaan publik pun mengalir deras: apakah jabatan baru itu bentuk penghargaan atas “Prestasi Lama”?
Dalam konteks birokrasi, mutasi memang hal wajar. Namun, ketika seseorang berpindah jabatan di tengah bayang-bayang dugaan korupsi, publik pantas curiga. Apakah perpindahan itu strategi untuk “Mengamankan” posisi dan menutupi jejak masa lalu? Atau sekadar rotasi rutin yang kebetulan menyelamatkan?
Keterlambatan penegakan hukum dalam kasus Mebeler 2016 menimbulkan tanda tanya besar. Sementara kasus dugaan korupsi Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) tahun 2024 yang juga terjadi di Sumenep sudah menunjukkan progres signifikan.
Kejati Jatim bahkan telah menetapkan beberapa tersangka hanya dalam waktu satu tahun. Mengapa kasus Mebeler yang sudah hampir sembilan tahun belum tuntas?
Perbandingan ini menimbulkan dugaan adanya perlakuan hukum yang tidak setara. Apakah karena pelaku dalam kasus Mebeler adalah “Orang Dalam dan Atau Berpengaruh”? Ataukah karena ada intervensi politik yang membentengi pihak-pihak tertentu dari jerat hukum? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di benak masyarakat yang mulai lelah menunggu kejelasan.
Keadilan seharusnya tidak menua bersama waktu. Setiap rupiah dari APBD yang diselewengkan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah publik. Apalagi, proyek itu menyasar fasilitas pendidikan tempat generasi muda ditempa. Korupsi di dunia pendidikan adalah bentuk paling kejam dari pengkhianatan moral.
Ironisnya, hingga kini belum ada transparansi hasil audit atau laporan resmi dari aparat penegak hukum terkait perkembangan penyidikan. Padahal, publik berhak tahu sejauh mana kebenaran dugaan tersebut dan siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban. Ketertutupan ini justru menimbulkan persepsi negatif terhadap integritas lembaga hukum.
Dalam demokrasi lokal yang sehat, kepercayaan publik adalah pondasi utama. Ketika kepercayaan itu luntur akibat lambannya proses hukum, maka legitimasi moral pemerintah daerah ikut goyah. Masyarakat mulai bertanya: apakah hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas?
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Sumenep. Banyak daerah di Indonesia menghadapi dilema serupa di mana kasus lama yang melibatkan pejabat atau rekanan “Berpengaruh” seolah sengaja dibiarkan membeku. Sementara kasus kecil yang melibatkan rakyat biasa cepat diselesaikan dengan hukuman berat. Ketimpangan hukum inilah yang menumbuhkan sinisme sosial dan rasa ketidakadilan.
Khusus untuk kasus Mebeler, masyarakat kini menunggu keberanian Kejaksaan Negeri Sumenep. Apakah lembaga itu mampu membuktikan diri sebagai penegak hukum yang independen dan tidak tunduk pada tekanan politik? Ataukah kasus ini kembali terkubur di tumpukan berkas seperti sebelumnya?
Publik tak lagi membutuhkan janji, tapi bukti. Bila penyidikan sudah berjalan, bukalah data secara transparan. Bila ada nama pejabat yang terlibat, umumkan dengan tegas. Bila tak cukup bukti, sampaikan secara terbuka agar tidak ada spekulasi liar. Kejelasan, sekecil apa pun, jauh lebih baik daripada kebisuan panjang.
Kasus Mebeler 2016 adalah cermin bagaimana sistem pengawasan anggaran di daerah masih lemah. Mekanisme kontrol internal di Dinas Pendidikan kala itu tampak gagal mendeteksi potensi penyimpangan. Pengawasan DPRD pun patut dievaluasi ke mana fungsi kontrol ketika dana miliaran rupiah digunakan tanpa transparansi memadai?
Lebih luas lagi, kasus ini menunjukkan bahwa korupsi di sektor pendidikan memiliki dampak jangka panjang. Bangku dan meja yang tidak sampai ke sekolah bukan sekadar kerugian material, tapi juga kerugian moral dan sosial. Anak-anak di daerah terpencil seperti Sapeken mungkin belajar di lantai, sementara uang mereka habis di meja perundingan koruptor.
Oleh karena itu, masyarakat Sumenep perlu terus bersuara. Tekanan publik adalah energi moral bagi penegak hukum untuk bertindak. Tanpa dorongan itu, kasus seperti Mebeler akan terus mengendap menjadi fosil birokrasi, menunggu dilupakan generasi berikutnya.
Kini, sembilan tahun sudah berlalu. Waktu boleh berjalan, tapi jejak kejahatan anggaran tidak pernah hilang. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk menelusurinya, bukan sekadar menunggu momentum politik yang tepat. Karena keadilan sejati tidak datang karena diminta ia hadir ketika nurani bekerja tanpa takut pada kekuasaan.
Penulis : Redaksi
Penulis : Wafa