JATIM, nusainsider.com — Baru-baru ini, viral pemasangan spanduk atas nama warga Bawean yang bertebaran di Gresik, Jawa Timur. Isi spanduk itu menolak klaim yang menyebutkan bahwa aduan sapi yang populer dengan thok-thok itu adalah tradisi Bawean.
Spanduk itu, di antaranya, membentang di dekat kantor Pemkab Gresik, kantor DPRD Gresik, dan kantor BNI Gresik.

Usut punya usut, penolakan tersebut muncul dari Masyarakat Adat Bawen (MAB) sebagai bentuk menyikapi unggahan Dewan Kebudayaan Gresik di laman FB dan IG tentang tok tok sapi yang dikategorikan sebagai tradisi budaya Bawean. Meski, belakangan diketahui unggahan tersebut telah dihapus oleh DKG.
Tokoh agama setempat, yaitu Kiai Ali Masyhar, Imam Besar Masjid Jamik Sangkapura Bawean, kepada awak media (20/5/24) juga menyatakan tegas penolakan atas budaya thok-thok sapi.
“Itu klaim Dewan Kebudayaan Gresik, thok-thok itu bukan budaya Bawean. Kami Masyarakat Adat Bawean (MAB) menyatakan bahwa unggahan (DKG) tersebut tidak benar dan merupakan penghinaan yang menyakiti perasaan masyarakat Bawean.” imbuhnya.
Masyarakat Bawean selama ini tidak pernah tahu dan merasakan kiprah positif keberadaan Dewan Kebudayaan Gresik bagi budaya etnis Bawean. Unggahan tentang tok tok sapi dewan kebudayaan gresik terasa ibarat gempa budaya Bawean berskala 7,5 SR dengan tsunami setinggi 35 M.
Menurutnya, warga Bawean Gresik Jawa Timur menolak keras adu sapi atau thok-thok diklaim sebagai tradisi Bawean. Apalagi dijadikan ikon masyarakat Bawean.
Masih menurut Muhammad, sikap penolakan terbuka itu disampaikan para tokoh adat Bawean. Di antaranya KH Ali Masyhar, Imam Besar Masjid Jami’ Sangkapura; KH Fauzi Rauf, Ketua PCNU Bawean; dan Nur Syarifuddin, Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Bawean.

Sikap tegas masyarakat Bawean pun memantik dukungan banyak pihak. Tak terkecuali senator Jatim, Dr. Lia Istifhama. Melalui seluler, ia menyebut penolakan tersebut menjadi pembelajaran banyak pihak dan potret ikhtiar menjaga nilai luhur kearifan lokal.
Apa yang dilakukan masyarakat Bawean merupakan self reminder bagi semua pihak. Bahwa ini harus dan wajib sebagai pembelajaran berarti. Jangan sesekali men-sematkan budaya A pada sebuah wilayah yang tidak ada kaitan dengan budaya tersebut. Apalagi budaya thok-thok sapi yang mana dua sapi diadu. Ini jelas haram dan menyakitkan hewan ternak.
Jadi wajar masyarakat Bawean menolak. Saya kira, wilayah lainnya pun tidak ada yang mau jika mereka memiliki budaya adu hewan seperti itu. Yang pasti, tindakan masyarakat Bawean sangat tegas dan bentuk nyata mereka menjaga nilai luhur kearifan lokal yang sangat agamis dan humanis,” tegasnya.
Aktivis berparas ayu yang acapkali menolak beauty privilege tersebut juga menyampaikan harapan agar sikap tegas masyarakat Bawean bisa menjadi teladan bersama.
“Sikap tegas seperti itu, harus diteladani agar budaya di tempat lain juga terjaga nilai luhurnya. Dan agar tidak ada penumpang gelap yang pansos dengan mengkaitkan sebuah kebiasaan dengan wilayah tertentu. Beda lho, kebiasaan orang tertentu dengan budaya masyarakat. Tapi ternyata banyak yang salah kaprah.
Buktinya, terkait tok-tok sapi, di tiktok ada beberapa konten yang mengupload. Ini bukti ada saja yang gagal paham dan justru turut memviralkan itu.
Konten seperti itu harusnya ditake-down karena itu bukan konten positif dan tidak ada unsur edukasi bagi anak-anak. Dan yang kurang paham, jangan cepat-cepat share. Harus saring dulu, baru share,” pungkasnya.
Penulis : Mam