Anak Pulau di Pinggir Negara: Ketimpangan Pendidikan Kepulauan Sumenep dalam Bayang-Bayang Kurikulum Merdeka
Oleh: Ach. Barocky Zaimina

OPINI, nusainsider.com — Di tengah gaung “Merdeka Belajar” yang digaungkan Kementerian Pendidikan, anak-anak di pulau-pulau kecil Kabupaten Sumenep tampak seperti anak tiri dalam sistem pendidikan nasional. Meski secara administratif mereka warga negara yang sama, dalam praktiknya mereka menghadapi tantangan pendidikan yang jauh berbeda dibandingkan rekan-rekan sebangsanya di daratan atau kota besar.
Kurikulum Merdeka yang menjanjikan diferensiasi, pembelajaran berbasis proyek, dan fleksibilitas justru menyisakan ironi di kawasan kepulauan. Di ruang kelas Pulau Sapudi, Kangean, Sapeken, hingga Raas, “merdeka” itu tampak asing dan tak terjangkau. Saat sebagian besar sekolah di kota mulai mendalami platform digital Merdeka Mengajar, anak-anak pulau masih berjuang mendapatkan guru tetap, sinyal internet, hingga buku pelajaran.
Ketimpangan yang Terstruktur dan Masif
Kabupaten Sumenep memiliki 126 pulau, 46 di antaranya berpenghuni. Banyak sekolah di pulau-pulau tersebut mengalami kekurangan guru, akses teknologi, dan fasilitas belajar.
Dinas Pendidikan Sumenep (2023) mencatat hanya sekitar 40% sekolah di kepulauan yang memiliki akses internet layak. Sementara itu, Kurikulum Merdeka secara implisit mengandalkan koneksi internet untuk mengakses modul ajar, pelatihan guru, dan asesmen diagnostik.
Akibatnya, penerapan Kurikulum Merdeka menjadi timpang. Sekolah yang memiliki akses digital bisa melompat jauh dengan pembelajaran berbasis proyek (PjBL) dan asesmen formatif daring. Di sisi lain, sekolah di pulau-pulau kecil ketinggalan jauh karena harus bertahan dengan pendekatan konvensional dan guru yang belum mendapat pelatihan memadai.
Negara Tak Boleh Lalai
Kondisi ini jelas bertentangan dengan amanat konstitusi. Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Sedangkan Ayat (2) mewajibkan negara untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan kecerdasan bangsa.
Ketimpangan yang terjadi di kepulauan Sumenep tidak bisa lagi disebut sebagai keterlambatan pembangunan, tetapi sudah mengarah pada bentuk diskriminasi struktural yang sistematis.
Ketika kurikulum disamaratakan tanpa memedulikan kondisi geografis dan infrastruktur, maka negara secara tidak langsung melanggar prinsip kesetaraan dalam pelayanan pendidikan.
Fenomena tersebut sejalan dengan Teori Keadilan John Rawls, Rawls menekankan bahwa kebijakan publik harus menguntungkan kelompok yang paling tidak beruntung.
Dalam konteks ini, implementasi Kurikulum Merdeka seharusnya bukan menyamaratakan perlakuan, melainkan justru menghadirkan afirmasi khusus untuk daerah tertinggal, seperti kepulauan Sumenep. Selanjutnya diperkuat juga dengan Teori Ketimpangan Wilayah Gunnar Myrdal (Cumulative Causation Theory) Myrdal menjelaskan bahwa tanpa intervensi kuat dari negara, daerah yang tertinggal akan semakin tertinggal karena akumulasi faktor-faktor sosial dan ekonomi. Ketimpangan antara wilayah daratan dan kepulauan Sumenep menjadi bukti sahih dari teori ini.
Guru dan Murid yang Ditinggalkan
Beberapa guru dari kepulauan melaporkan keterbatasan serius. “Untuk pelatihan Kurikulum Merdeka, kami harus ke daratan atau menunggu sinyal yang kadang datang tengah malam,” ujar seorang guru di Pulau Sapudi. Bahkan ada guru yang mengaku tidak pernah mengakses Platform Merdeka Mengajar sejak program ini diluncurkan karena kendala jaringan.
Modul-modul ajar juga kerap datang terlambat karena distribusi logistik ke pulau bergantung pada cuaca dan transportasi laut yang terbatas. Tidak jarang guru membuat materi sendiri tanpa panduan karena modul Kurikulum Merdeka belum tersedia di sekolahnya.
Jalan Keluar: Afirmasi, Bukan Pemerataan Buta
Kurikulum Merdeka harus dikoreksi dengan memasukkan pendekatan keadilan spasial (spatial justice). Pemerataan tidak bisa disamakan dengan perlakuan seragam. Yang dibutuhkan oleh anak-anak pulau bukan hanya kurikulum yang sama, tetapi akses yang adil terhadap sumber belajar, guru, teknologi, dan perhatian negara.
Beberapa solusi konkret yang dapat ditempuh: Pertama, Penguatan Infrastruktur Pendidikan di Kepulauan; Pemerintah perlu menghadirkan akses internet satelit edukasi, pengadaan pustaka digital berbasis offline, dan perangkat ajar yang bisa digunakan tanpa jaringan.
Kedua, Kebijakan Afirmasi Guru Kepulauan Guru-guru yang bertugas di kepulauan harus mendapatkan pelatihan luring khusus, insentif yang memadai, serta kemudahan administratif dalam sertifikasi dan pengembangan karier.
Ketiga, Modul Kontekstual dan Adaptif Kurikulum Merdeka harus membuka ruang bagi pembuatan modul lokal yang relevan dengan kondisi sosial budaya masyarakat pulau.
Ujian Nyata Komitmen Negara
Kepulauan Sumenep adalah cermin paling jujur dari keberpihakan negara terhadap kelompok marginal. Jika anak-anak pulau terus tertinggal dalam akses pendidikan, maka Kurikulum Merdeka akan gagal sebagai instrumen keadilan sosial.
Pendidikan tidak boleh menjadi hak istimewa anak kota, melainkan hak dasar semua anak bangsa termasuk mereka yang hidup di ujung-ujung Kepulauan republik ini.
Penulis : Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Kiyai Achmad Shiddiq Jember dan Aktif sebagai Praktisi Sosial Pendidikan dan Ekonomi Kerakyatan
![]()

















