MALANG, nusainsider.com — Di sebuah gang sempit di sudut Kota Malang, lampu warung Madura masih menyala saat malam telah larut. Seorang buruh bangunan berhenti, membeli sebungkus rokok dan kopi sachet.
“Kalau jam segini, hanya warung Madura yang bisa diandalkan,” katanya. Namun, warung-warung seperti ini kini semakin sulit ditemukan.
Bukan hanya karena menjamurnya ritel modern seperti Alfamart dan Indomaret, tapi juga akibat ketegangan sosial dan lemahnya perlindungan hukum yang mereka hadapi.

Samrawi, mahasiswa Universitas Insan Budi Utomo Malang, telah meneliti dinamika warung Madura di tengah ekspansi ritel modern.
Ia menyebut tantangan yang dihadapi warung Madura tidak hanya bersifat ekonomi, tapi juga sosial dan struktural.
“Masalahnya kompleks. Mulai dari konflik horizontal dengan warga lokal, hingga sesama pemilik warung Madura sendiri,” ujarnya.
Dalam laporannya, Samrawi mencatat adanya gesekan antara pemilik warung Madura dan warga lokal, terutama di wilayah perkotaan.
“Jam operasional 24 jam kerap dipermasalahkan. Ada yang keberatan karena pelanggan datang malam-malam, menimbulkan keramaian,” katanya.
Lebih miris lagi, konflik pun muncul di antara sesama warga Madura. Persaingan lokasi, harga, dan pelanggan kerap menjadi pemicu saling jegal.
“Bahkan ada kasus dugaan saling sabotase antar pemilik warung dalam satu kelurahan,” ungkapnya prihatin.
Namun, warung Madura tidak serta merta tumbang. Mereka bertahan lewat modal sosial yang kuat.
Fleksibilitas jam buka, sistem utang berbasis kepercayaan, serta relasi emosional dengan pelanggan menjadi kekuatan utama mereka.
Warung Madura bukan hanya tempat jual beli, tapi ruang interaksi sosial, tempat curhat, hingga simpul solidaritas warga.
Samrawi mengusulkan tiga langkah penguatan untuk menjaga eksistensi mereka:
- Pembentukan koperasi komunitas Madura
- Digitalisasi layanan dasar
- Diversifikasi produk dan jasa (pulsa, token listrik, fotokopi, dll.)
“Yang penting kolaborasi. Kalau sendiri-sendiri gampang runtuh. Tapi kalau kompak, bisa jadi kekuatan besar,” tegasnya.
Ia mengutip pepatah Madura: “Bengsebeng deddi olar, arengbereng deddi nage”, yang berarti: “Sendiri-sendiri jadi ular, bersama-sama jadi naga.”
Lebih jauh Menurut Samrawi, selama ini belum ada perlindungan konkret dari pemerintah. Ia menyoroti dua regulasi yang seharusnya menjadi pegangan:
- Permenkop UKM No. 5 Tahun 2021 tentang Pelindungan dan Pemberdayaan UMKM
- Perpres No. 17 Tahun 2023 tentang Penguatan Kewirausahaan Nasional
“Pemerintah harus mulai berani. Atur zonasi minimarket, berikan insentif ke warung tradisional, dan hadir lewat pelatihan digital,” sarannya.
Warung Madura adalah wajah ekonomi kerakyatan. Mereka tidak punya iklan TV, tidak ada diskon besar-besaran, tapi mereka punya loyalitas pelanggan dan sistem kepercayaan yang langka.
Namun jika terus dipinggirkan, mereka bisa pelan-pelan hilang dari sudut-sudut kota.
“Yang mereka butuhkan bukan belas kasihan, tapi keadilan,” tegas Samrawi.
Mereka tidak minta dimodali. Hanya ingin didengar, diakui, dan tidak dipersulit.
Penulis : Mif