SUMENEP, nusainsider.com — Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dari Kementerian PUPR kembali jadi sorotan. Kali ini, program yang ditujukan untuk warga miskin ini menuai polemik di Kabupaten Sumenep, Madura.
Perbincangan soal BSPS ramai di berbagai grup WhatsApp warga. Sejumlah pihak menilai realisasi program ini bermasalah dan tak transparan. Bahkan, dugaan penyimpangan serta praktik jual beli program mencuat ke permukaan.

Padahal, BSPS adalah program positif. Tujuannya membantu masyarakat berpenghasilan rendah agar memiliki atau memperbaiki rumah yang layak huni. Harapannya, jumlah rumah tidak layak huni bisa ditekan secara signifikan.
Program ini didanai dari Anggaran pendapatan Belanja Negara (APBN) 2024. Setiap penerima seharusnya mendapatkan bantuan sebesar Rp20 juta untuk renovasi atau pembangunan rumah yang layak dan aman ditempati.
Kabupaten Sumenep mendapat kuota lebih dari 5.000 unit. Dengan bantuan Rp20 juta per unit, total anggaran yang digelontorkan sangat besar untuk satu kabupaten saja.
Dengan anggaran itu, seharusnya banyak rumah warga miskin yang bisa diperbaiki agar tak lagi bocor atau berstruktur membahayakan. Namun, laporan di lapangan menunjukkan indikasi penyimpangan serius.

Aktivis dari Aliansi Pemuda Reformasi Melawan (ALARM) Sumenep menyampaikan bahwa adanya pemotongan dana. Menurutnya, warga hanya menerima sekitar Rp12 juta dari total bantuan Rp20 juta.
Dugaan kuat mengarah pada peran oknum Koordinator Kabupaten (Korkab) Program BSPS. Oknum tersebut diduga menjual bantuan kepada kepala desa dengan tarif antara Rp3,5 juta hingga Rp8 juta per unit.

Skema ini tentu merugikan masyarakat. Bantuan yang seharusnya memperbaiki kualitas hidup, justru berubah menjadi ladang korupsi. Bahkan, dalam beberapa kasus, bantuan tidak diterima sama sekali, “Pungkasnya Miftahul Arifin kepada Media nusainsider.com, Selasa 8 April 2025.
Ia menyebutkan, Pernyataan mengejutkan datang dari Kepala Desa Aeng Tong-Tong. Ia secara terbuka menyebut tidak ada warganya yang menerima bantuan, meskipun dalam data tercatat 30 orang penerima.
Kasus serupa juga terjadi di Desa Saseel. Menurut data resmi, desa tersebut seharusnya menerima 60 unit bantuan. Namun, kenyataannya, tidak satu pun warga menerima bantuan tersebut.
Investigasi ALARM menyebut bahwa Kepala Desa Saseel tidak bisa memenuhi permintaan dana dari oknum pengurus BSPS. Akibatnya, jatah bantuan untuk desa tersebut diduga dialihkan ke pihak lain.
Hal ini semakin memperkuat dugaan praktik jual beli nama penerima. Warga kecewa karena nama mereka digunakan, namun bantuan tidak pernah mereka rasakan, “Imbuhnya.
Miftah sapaan akrabnya dalam membela Warga Saseel merasa sangat dirugikan. Selain tidak menerima bantuan, nama mereka seolah-olah telah menikmati program. Hal ini bisa menimbulkan masalah lain di kemudian hari.
Masalah ini tak bisa dianggap sepele. Dugaan korupsi hingga pelanggaran administrasi harus diusut tuntas. Masyarakat miskin tidak boleh menjadi korban dari sistem yang korup.
Aktivis ALARM meminta agar aparat penegak hukum (APH) segera turun tangan. Mereka mendesak agar kasus ini diusut serius dan tidak “masuk angin” karena ada kepentingan tertentu.
Masyarakat berharap tindakan tegas dijatuhkan pada oknum yang mempermainkan program bantuan. BSPS seharusnya menjadi solusi bagi rakyat kecil, bukan sumber penderitaan baru.
ALARM juga berharap pemerintah pusat mengevaluasi ulang pelaksanaan program ini di daerah. Pengawasan harus diperketat agar bantuan benar-benar tepat sasaran dan bebas manipulasi.
Transparansi dan akuntabilitas sangat diperlukan dalam pelaksanaan BSPS. Keterlibatan APH diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah.
Bantuan rakyat seharusnya tidak menjadi ladang bancakan segelintir orang. Jika terbukti terjadi pelanggaran, semua pihak yang terlibat harus bertanggung jawab secara hukum, “Jelasnya
Masyarakat, media, dan aktivis punya peran penting dalam pengawasan. Mereka harus terus mengawal agar tidak ada lagi korban dari program-program yang diselewengkan.
Dengan proses hukum yang adil dan terbuka, masyarakat Sumenep berharap bantuan seperti BSPS dapat benar-benar dinikmati oleh yang berhak, bukan dikorup oleh oknum.
Sementara itu, berdasarkan informasi yang dihimpun media ini, ratusan kepala desa dijadwalkan dipanggil Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumenep pada Rabu, 9 April 2025.
Pemanggilan ini dilakukan untuk dimintai keterangan seputar pelaksanaan program BSPS. Langkah ini menjadi sinyal awal bahwa proses hukum mulai berjalan menindaklanjuti laporan warga.
Penulis : Dre