OPINI, nusainsider.com — Kasus dugaan tindak pidana korupsi di Kabupaten Sumenep seakan menjadi kisah lama yang tak kunjung menemukan ujung. Kabupaten yang dikenal sebagai Kota Garam dan Kota Keris ini, menyimpan potret buram dalam perjalanan penegakan hukum yang tampak jalan di tempat.
Sudah lebih dari satu dekade, berbagai laporan dugaan penyimpangan keuangan daerah, proyek fiktif, dan pengadaan barang publik muncul silih berganti.

Namun, hingga kini, penyelesaiannya ibarat api dalam sekam, menyala sesaat, lalu padam tanpa kabar. Publik-pun semakin skeptis terhadap keberpihakan aparat penegak hukum.
Salah satu kasus yang mencuat ke permukaan adalah dugaan korupsi dalam pengadaan mebeler tahun 2016 dengan nilai fantastis mencapai Rp18 miliar. Proyek tersebut merupakan bantuan hibah dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur kepada sejumlah sekolah di Sumenep, baik tingkat SD, SMP, maupun SMA.
Berdasarkan dokumen yang beredar, pelaksanaan proyek itu dilakukan oleh CV Yusufindo Sejahtera, beralamat di Jl. Gubeng Jaya II KA No. 68, Surabaya.
Prosesnya diikat melalui Surat Perjanjian Kontrak Nomor 732/SPK/PPK-DIKNAS/435.101/2016 tertanggal 12 Oktober 2016. Namun, sejak itu, banyak pihak menyoroti kejanggalan dalam mekanisme distribusi hingga kualitas barang yang tidak sesuai spesifikasi.
Publik berharap aparat penegak hukum segera turun tangan. Laporan demi laporan bahkan sudah dilayangkan ke Polres Sumenep, Polda Jawa Timur, hingga ke tingkat kementerian. Tapi hasilnya nihil.
Kasusnya seperti lenyap ditelan bumi, tidak ada tindak lanjut, apalagi penahanan tersangka. Kondisi ini menimbulkan kesan kuat bahwa ada kekuatan besar yang berusaha membungkam proses hukum.
Kejadian serupa terulang kembali dalam kasus yang lebih baru: dugaan korupsi Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS). Program yang sejatinya ditujukan untuk membantu masyarakat miskin agar memiliki rumah layak huni itu justru menjadi lahan empuk bagi oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dalam kasus BSPS tersebut, indikasi kerugian negara bahkan mencapai ratusan miliar rupiah. Ironisnya, laporan dan temuan dari berbagai sumber di lapangan menunjukkan adanya penyimpangan besar-besaran mulai dari penunjukan pelaksana, pengadaan material, hingga proses realisasi bantuan kepada penerima manfaat.
Namun lagi-lagi, respons aparat penegak hukum sangat lambat. Hingga kini, belum ada kejelasan apakah penyidikan benar-benar berjalan atau hanya formalitas belaka.
Situasi seperti ini jelas melukai rasa keadilan masyarakat. Mereka melihat hukum tak lebih dari panggung sandiwara di mana aktor utamanya adalah mereka yang berkuasa.
Pertanyaan besar pun muncul: mengapa setiap kasus korupsi di Sumenep sulit disentuh? Apakah karena adanya keterlibatan pejabat tinggi daerah, atau karena lemahnya komitmen lembaga penegak hukum dalam memerangi korupsi di level daerah? Jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya tidak sulit ditebak, tetapi sulit dibuktikan.
Faktor politik lokal menjadi salah satu kunci utama. Ketika pejabat publik, kepala dinas, bahkan anggota DPRD diduga ikut bermain, maka proses hukum sering kali tersendat. Ada tarik ulur kepentingan, ada negosiasi senyap, dan ada pula upaya “Melindungi Nama Baik” institusi tertentu. Akibatnya, keadilan dikorbankan demi stabilitas politik.
Padahal, korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Setiap rupiah yang dikorupsi berarti menghilangkan hak rakyat untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang layak. Korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
Kini, di tengah bergantinya kepemimpinan nasional di bawah Presiden Prabowo Subianto, publik kembali menaruh harapan baru. Pemerintahan yang kuat dan tegas diharapkan mampu menegakkan supremasi hukum tanpa pandang bulu, termasuk terhadap dugaan korupsi di daerah seperti Sumenep.
Harapan itu bukan tanpa alasan. Prabowo dalam berbagai kesempatan menegaskan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi. Bila semangat itu benar-benar diwujudkan, maka momentum ini bisa menjadi titik balik bagi penegakan hukum di tingkat daerah.
Kasus-kasus lama seperti pengadaan mebeler 2016 dan BSPS semestinya bisa diungkap kembali. Pemerintah pusat dapat menugaskan aparat penegak hukum, baik dari kepolisian maupun kejaksaan, untuk melakukan evaluasi ulang terhadap laporan-laporan lama yang mandek. Dengan dukungan teknologi dan sistem audit digital yang lebih canggih, pembuktian kasus semacam ini tidak lagi sesulit dahulu.
Lebih jauh lagi, publik perlu dilibatkan dalam proses pengawasan. Transparansi menjadi kunci utama. Semua proyek pengadaan, bantuan sosial, dan hibah daerah seharusnya dapat diakses publik secara terbuka, mulai dari perencanaan hingga realisasi anggaran. Langkah ini akan mempersempit ruang gerak bagi para pelaku korupsi.
Selain itu, aparat penegak hukum di daerah juga harus dibebaskan dari tekanan politik dan kepentingan lokal. Tidak jarang, penyidik di tingkat kabupaten atau provinsi mengalami dilema ketika kasus yang mereka tangani menyentuh elite daerah. Ketegasan dari pusat menjadi solusi mutlak agar proses hukum tidak berhenti di tengah jalan.
Namun, harus diakui bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya soal menegakkan hukum, tetapi juga membangun kesadaran moral. Tanpa integritas di tubuh birokrasi, hukum akan terus menjadi alat tawar-menawar kekuasaan. Sumenep memerlukan reformasi mental pejabat publik yang sungguh-sungguh melayani, bukan mencari keuntungan pribadi.
Lalu, mungkinkah kasus korupsi yang selama ini terkubur di Sumenep kembali diungkap di era pemerintahan Prabowo Subianto? Jawabannya tergantung pada sejauh mana komitmen pusat dalam menegakkan keadilan dan sejauh mana masyarakat berani bersuara. Jika rakyat diam, maka pelaku korupsi akan terus berpesta.
Namun jika publik bersatu, bersuara lantang, dan mendesak aparat untuk bertindak, tidak ada kasus yang benar-benar bisa ditutup rapat. Hukum sejatinya berpihak kepada kebenaran, bukan kepada kekuasaan. Dan Sumenep, dengan segala sejarah dan potensi besar yang dimilikinya, layak bebas dari belenggu korupsi yang telah menodai citra daerah selama bertahun-tahun.
Sudah saatnya luka lama ini disembuhkan. Tidak dengan retorika, tetapi dengan tindakan nyata. Korupsi di Sumenep bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap masa depan anak-anak daerah. Bila keadilan bisa ditegakkan di sini, maka harapan bagi Indonesia bersih bukan sekadar mimpi.
Penulis : Wafa