SUMENEP, nusainsider.com — Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Desa Torjek, Kecamatan Kangayan, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, menjadi sorotan tajam setelah muncul dugaan penyelewengan bantuan.
Sejumlah warga penerima bantuan mengaku hanya memperoleh material bangunan dengan nilai yang jauh dari ketentuan resmi. Hal ini menimbulkan dugaan pemotongan dana dalam penyaluran bantuan tersebut.

Ketua Tim Investigasi Garda Satu, Muhammad Raharjo, mengungkapkan bahwa warga miskin yang menjadi sasaran program justru hanya menerima papan dan genting. Nilainya bahkan diperkirakan tidak mencapai Rp5 juta.
“Bentuk bantuannya sangat memprihatinkan. Hanya papan dan genting. Jika diuangkan, nilainya tak sampai Rp5 juta. Ini sungguh menyedihkan,” ujar Raharjo dalam pernyataan tertulis yang diterima media ini, Jumat (18/4/2025).
Ia menilai ada indikasi kuat praktik pemotongan dana oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Menurutnya, hal ini tidak hanya merugikan penerima, tetapi juga mencederai tujuan program BSPS yang mulia.
“Ini bentuk ketidakadilan yang nyata. Jika dibiarkan, praktik seperti ini akan terus menyengsarakan rakyat kecil,” tegasnya.
Salah satu kasus yang disorot adalah rumah milik Nakia, seorang lansia sebatang kara di Desa Torjek. Bantuan yang diterimanya sangat minim dan tidak layak disebut sebagai perbaikan rumah.
Rumah Nakia hanya berdinding papan tanpa struktur permanen. Fasilitas dasar seperti kamar mandi dan dapur layak juga tidak tersedia.
Parahnya lagi, Nakia disebut diminta menurunkan sendiri genting lama dari atap rumahnya. Bahkan ada ancaman jika ia menolak melakukannya.

“Inisiator program ini Pak Said Abdullah pasti kecewa jika tahu bantuan untuk rakyat dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggung jawab,” kata aktivis sosial setempat, Badrul.
Ia mendesak aparat penegak hukum untuk tidak menutup mata atas indikasi penyimpangan ini. Menurutnya, aroma pembiaran mulai tercium dalam kasus ini.
“Jangan sampai aparat penegak hukum ‘Masuk Angin’. Indikasi ke arah sana disinyalir ada. Kita tak ingin ribuan masyarakat hanya jadi korban dan hilang begitu saja,” ujarnya.
Tim Garda Satu menyebut kasus Nakia bukan satu-satunya. Temuan awal mereka menunjukkan pola serupa juga terjadi pada sejumlah penerima bantuan lainnya di Desa Torjek.
“Beberapa warga lainnya juga hanya mendapatkan material sangat sedikit. Tak sesuai dengan ketentuan program. Ini sistemik,” kata Raharjo.
Sebagai informasi, program BSPS merupakan inisiatif Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah agar memiliki rumah layak huni.
Program ini menggunakan skema berbasis swadaya dengan total bantuan sebesar Rp20 juta untuk setiap penerima. Dana tersebut dibagi menjadi dua alokasi.
Sebesar Rp17,5 juta diperuntukkan pembelian material bangunan. Sisanya, Rp2,5 juta, digunakan untuk membayar upah tukang bangunan.
Namun, di lapangan, realisasi program jauh dari harapan. Warga mengaku tak pernah mengetahui secara pasti rincian anggaran yang mereka terima.
“Tak ada transparansi. Warga hanya diberi barang, itu pun nilainya sangat kecil,” kata salah satu warga yang enggan disebut namanya.
Bahkan, sebagian penerima mengaku tidak dilibatkan dalam proses pembelian atau pengadaan material. Mereka hanya menerima apa yang dikirim oleh pihak yang mengurus program.
Kondisi ini menjadi ironi di tengah semangat pemerataan pembangunan yang terus digaungkan pemerintah. Program yang seharusnya menjadi solusi, justru menjadi sumber kekecewaan masyarakat.
Tim investigasi Garda Satu berkomitmen mengawal kasus ini hingga tuntas. Mereka berjanji akan menyampaikan temuan ke aparat penegak hukum dan instansi terkait.
“Kami akan serahkan laporan lengkap ke Kementerian PUPR dan aparat hukum. Jangan sampai rakyat kecil terus jadi korban,” tegas Raharjo.
Masyarakat kini berharap pihak berwenang segera turun tangan melakukan audit terhadap pelaksanaan BSPS di Desa Torjek. Keadilan menjadi harapan terakhir para warga miskin yang mendambakan rumah layak huni.
Penulis : Wafa