OPINI, nusainsider.com — Tanggal 3 Mei 2025 akan menjadi momentum penting bagi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Sumenep. Konferensi Cabang (Konfercab) bukan sekadar agenda tahunan, melainkan ajang konsolidasi, regenerasi, dan pembaruan ideologis.
Namun, di balik spanduk besar dan kesibukan persiapan, ada keresahan yang pelan-pelan membubung. Banyak kader mempertanyakan: apakah Konfercab masih milik kita semua, atau hanya dikuasai oleh segelintir elite yang tak mau melepas kendali?

PMII lahir dari kegelisahan zaman, dari kerinduan akan gerakan Islam yang adil, setara, dan berpihak pada kaum tertindas. Semangat awal itu kini mulai pudar, tergilas oleh arus pragmatisme yang menyelinap tanpa malu.
Di Sumenep, situasi ini bukan sekadar kekhawatiran. Dalam beberapa tahun terakhir, problem serius mengemuka: kaderisasi yang stagnan, komunikasi yang buruk, dan pengambilan keputusan yang sarat kepentingan kelompok, bukan kebijaksanaan kolektif.
Tak sedikit kader di komisariat merasa terpinggirkan. Mereka hanya diingat saat Muscab atau Konfercab, lalu dilupakan begitu saja. Keluhan ini mencerminkan rusaknya relasi antara pengurus cabang dan akar organisasi.
PMII adalah organisasi kader, bukan korporasi dengan struktur beku. Jika suara komisariat tak lagi didengar, maka organisasi ini sedang mengalami kematian perlahan—sunyi namun pasti.

Sahabat Khairul Umam, Ketua Cabang PMII Sumenep 2015–2016, pernah berkata:
“PMII bukan tempat menanamkan loyalitas semu pada individu. Ia adalah ruang mendewasakan nalar dan membumikan nilai.” Kutipan itu layak direnungkan bersama.
Organisasi ini bukanlah alat tukar, apalagi warisan turun-temurun. Ia adalah ruang perjuangan. Maka, ketika kekuasaan diwariskan tanpa proses kritis, semangat kaderisasi justru terkebiri di depan mata kita sendiri.
Mengapa kita cemas menyambut Konfercab tahun ini? Karena kita pernah kecewa. Kita pernah berharap, tetapi yang datang hanyalah pengulangan. Kita pernah membangun gagasan, tapi akhirnya dikalahkan oleh lobi-lobi kamar.
Kita ingin perubahan, tetapi yang hadir hanya nama baru tanpa ruh baru. Kita ingin gagasan, tapi yang ditawarkan cuma janji dan basa-basi. Kita ingin harapan, tetapi yang datang hanyalah kompromi dan repetisi.
Padahal, tantangan yang dihadapi PMII Sumenep masih nyata. Kemiskinan masih mengikat, pendidikan belum merata, infrastruktur masih tertinggal, dan partisipasi publik masih rendah. Apakah PMII hadir dalam menyikapi semua itu?
Pertanyaan itu harus dijawab dengan jujur. Apakah PMII hari ini masih menjadi mitra kritis pemerintah? Ataukah telah kehilangan tajinya karena tenggelam dalam konflik internal dan kompromi dengan kekuasaan?
Kita tak kekurangan kader. Di tingkat rayon dan komisariat, semangat masih ada. Namun, semangat itu sering kali padam karena tak diberi ruang untuk menyala. Mereka butuh panggung, bukan sekadar tempat duduk.
Kader di bawah ingin dilibatkan, bukan hanya disuruh datang saat pemilihan. Mereka ingin bicara tentang masa depan organisasi, bukan cuma menyimak debat kosong elite yang berkutat pada kekuasaan.
Konfercab 2025 harus menjadi titik balik. Kita butuh proses yang bersih, adil, dan terbuka. Tak boleh ada calon yang hanya mengandalkan backing senior atau kekuatan uang semata. Gagasan harus menjadi poros utama.
Forum ini harus jadi ujian integritas, bukan kontes taktik kotor. Kita harus menolak jual beli suara, menolak politik nasi kotak, dan menolak janji-janji palsu yang hanya muncul saat pemilihan lalu menghilang.
KH Sahal Mahfudz dalam “Nuansa Fiqh Sosial” menekankan pentingnya gerakan sosial berbasis nilai. Ini harus menjadi cermin bagi kita: apakah PMII masih bergerak di tengah realitas masyarakat, atau sibuk dalam drama internal?
Sahabat M. Abdullah Syukri, Ketua Umum PB PMII 2021–2024, pernah berkata: “Konfercab bukan hanya agenda rutin, tetapi peristiwa ideologis.” Di situlah arah gerakan ditentukan dan kepercayaan kader dibangun kembali.
Pernyataan itu mestinya menyadarkan kita: Konfercab bukan formalitas. Ia adalah tonggak ideologis dan platform strategis. Gagal memaknainya berarti gagal menjaga ruh gerakan yang diwariskan para pendiri.
Bagi panitia pelaksana, netralitas adalah keharusan. Jangan ada intervensi. Jangan ada permainan di balik layar. Jangan biarkan kepentingan pribadi merusak kepercayaan kolektif yang dibangun bertahun-tahun.
Untuk semua komisariat, jangan diam. Beranilah bersuara. Gunakan Konfercab sebagai forum untuk menagih arah, memperjelas tujuan, dan menyuarakan keresahan. Diam adalah bentuk pengkhianatan terhadap masa depan organisasi.
PMII Sumenep memiliki banyak kader cerdas dan potensial. Yang kurang adalah keberanian membuka ruang dan menumbuhkan kepercayaan. Maka, sekaranglah saatnya membuka ruang itu dan menyambut keberanian sebagai kekuatan bersama.
Saatnya kita menebas loyalitas sempit, membongkar sekat-sekat palsu, dan membangun kembali marwah organisasi dengan semangat kolektif. Jika bukan kita yang menjaga PMII, siapa lagi?
Konfercab 2025 adalah cermin. Ia akan memantulkan wajah sejati organisasi kita. Apakah masih setia pada cita-cita awal, atau telah menjelma menjadi bayangan suram dari masa lalu yang heroik?
Mari kita jaga cermin itu tetap jernih. Agar yang tercermin adalah wajah kejujuran, keberanian, dan harapan. Bukan wajah kepalsuan, bukan pula topeng-topeng yang menyembunyikan kepentingan pribadi.
PMII bukan milik mereka yang selalu sama. PMII adalah milik semua kader yang berani bermimpi, bersuara, dan bergerak. Maka, jangan biarkan Konfercab ini dirampas oleh mereka yang hanya ingin mempertahankan kursi.
*) Penulis : Dauri Aziz, Wakil Ketua (Waka) II pengurus komisariat (PK) PMII STIT Aqidah Usymuni kabupaten Sumenep.