OPINI, nusainsider.com — Memasuki usia ke-65 pada 17 April 2025, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tiba di persimpangan sejarah dan realitas baru. Lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), PMII telah melintasi berbagai rezim politik dan kini menghadapi tantangan zaman metamodernisme yang kompleks dan paradoksal.
Sebagai organisasi ekstra kampus, PMII telah berperan penting dalam merawat nilai keislaman dan keindonesiaan. Namun, di era digital yang serba cepat ini, kaderisasi tak bisa lagi bertumpu pada metode konvensional.

Generasi muda hari ini adalah generasi kreator digital, yang menuntut pendekatan baru, kreatif, dan reflektif.
Sejarah dan Evolusi Paradigma PMII
PMII didirikan pada 17 April 1960 di Surabaya sebagai respon atas dinamika Demokrasi Terpimpin. Mahbub Djunaidi dan kawan-kawan memosisikan organisasi ini sebagai wadah perjuangan intelektual dan ideologis mahasiswa NU, berpijak pada nilai Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) dan kebangsaan.
Dalam perjalanannya, PMII mengalami perubahan paradigma gerakan. Tahun 1997, di bawah Muhaimin Iskandar, muncul Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran. Fokusnya adalah kritik terhadap hegemoni negara dan kapitalisme, serta keberpihakan kepada kelompok terpinggirkan. PMII hadir sebagai kekuatan advokasi sosial.
Era 1999-2000 di bawah Syaiful Bahri Anshori memperkenalkan Paradigma Kritis Transformatif (PKT). PMII mengadopsi pemikiran kritis dari Mazhab Frankfurt dan intelektual muslim progresif seperti Hasan Hanafi, Ali Asghar Engineer, serta Muhammad Arkoun. Pendekatannya menekankan dekonstruksi terhadap sistem penindas.

Kemudian pada 2006–2008, Herry Harianto Azumi mengusung paradigma “Menggiring Arus Berbasis Realitas.” PMII tak hanya menjadi pengkritik, tetapi juga mitra strategis dalam pembangunan sosial. Nilai-nilai Aswaja tetap menjadi fondasi: tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran) dijaga dalam setiap langkah.
Metamodernisme: Zaman Baru, Wajah Baru
Istilah metamodernisme pertama kali digunakan Mas’ud Zavarzadeh pada 1975. Kini, ia menjelma sebagai semangat zaman—bergerak lincah antara idealisme modern dan sinisme postmodern.
Fabio Vittorini menyebutnya sebagai “tarian antara fanatisme dan pragmatisme.” Di sinilah, PMII perlu menari.
Di era digital ini, ekspresi manusia berubah. Fanfiction, remix, meme, vlog, hingga TikTok menjadi arena penciptaan makna. Kreativitas menjadi bahasa perlawanan dan refleksi diri. Metamodernisme bukan apatisme, tapi justru keterlibatan aktif dengan dunia, walau sadar akan keterbatasannya.
Menurut Greg Dember, metamodernisme melahirkan konsep seperti normcore (kesederhanaan anti-hierarki), ironi tulus (jujur lewat sarkasme), dan pastiche konstruktif (kolaborasi lintas genre). Misalnya, musik country dan hip-hop bisa bersatu dalam satu lagu, tanpa harus saling menertawakan.
Iklan Bryan Wilson yang absurd namun bermakna, atau meme yang menyindir elitisme politik, adalah bentuk ekspresi metamodern: tidak selalu serius, tapi punya pesan. Dalam konteks ini, kaderisasi PMII harus belajar memanfaatkan seni ambiguitas—merangkul kebingungan sambil menciptakan makna baru.
Kaderisasi PMII di Era Metamodern
Zaman metamodern bukan ancaman, melainkan peluang untuk memperbarui proses kaderisasi. Generasi kreator tak suka dikuliahi panjang; mereka mencari ruang berekspresi, bereksperimen, dan berjejaring. PMII bisa mengambil pendekatan baru: mengajarkan Aswaja lewat podcast, menyampaikan kritik sosial lewat meme.
Moderasi beragama, misalnya, bisa disebarkan lewat konten TikTok yang ringan dan menghibur. Webinar keadilan iklim bisa dikemas dalam bentuk vlog investigasi. Kaderisasi bukan hanya ruang doktrinasi, tapi ekosistem kreativitas. Ini tantangan besar, sekaligus medan baru perjuangan.
Namun, tantangannya tidak kecil. Di tengah banjir informasi, bagaimana menjaga nilai Aswaja agar tidak tereduksi menjadi slogan kosong? Di tengah budaya “klik-scroll-repeat”, bagaimana menjaga daya pikir kritis agar tak hilang ditelan algoritma?
Tantangan dan Peluang Nyata
Survei BNPT tahun 2019 menunjukkan bahwa 80% Gen Z di Indonesia rentan terpapar ekstremisme karena rendahnya literasi kritis. Globalisasi juga menimbulkan krisis identitas; batas antara lokal dan global makin kabur. Di sinilah PMII perlu hadir sebagai penyeimbang antara akar budaya dan arus global.
Masalah internal organisasi juga tak bisa diabaikan. PMII, seperti organisasi mahasiswa lainnya, sering terjebak dalam kompetisi jabatan. Padahal, masyarakat luar menghadapi krisis ekologi, kemiskinan, dan keterasingan digital. Gerakan mahasiswa seharusnya tidak hanya sibuk pada internal, tetapi hadir sebagai solusi konkret.
Di balik tantangan, terbuka ruang besar untuk inovasi. Pertama, kaderisasi bisa disinergikan dengan pelatihan teknologi: analisis big data, pemetaan sosial, atau penggunaan AI untuk kampanye literasi. Ini akan memperluas wawasan kader dan memperkuat posisi PMII sebagai organisasi yang adaptif.
Kedua, kreativitas digital harus dirangkul. Meme tentang ketimpangan sosial, vlog yang mengeksplorasi keresahan anak muda, atau video pendek yang mempopulerkan nilai-nilai Aswaja, semua bisa menjadi alat dakwah baru. Ini bukan sekadar tren, melainkan medan baru dakwah dan advokasi.
Ketiga, paradigma metamodern membuka ruang untuk kolaborasi tanpa kehilangan sikap kritis. PMII bisa tetap mengkritik kebijakan pemerintah, namun juga siap membangun ekonomi mikro berbasis teknologi seperti blockchain, serta mengadvokasi hak-hak masyarakat lewat platform digital.
Menari Bersama Zaman
Pada usia ke-65, PMII mesti menjadi organisasi yang gesit dan lentur. Ia harus mampu menjadi “pendulum metamodern”—bergerak antara tradisi dan inovasi, antara spiritualitas dan rasionalitas, antara kritik dan kolaborasi. Kaderisasi bukan mencetak pemimpin idealis atau sinis, tapi pribadi yang siap menari dalam paradoks.
Generasi PMII ke depan harus mampu bersikap religius namun terbuka, kritis namun solutif, tradisional namun melek teknologi. Mereka bukan hanya pewaris sejarah, tetapi pencipta masa depan. Mereka harus menjadi penggerak perubahan yang mampu membaca zaman tanpa kehilangan arah.
Seperti kata Greg Dember, metamodernisme adalah seni “Menciptakan Makna Di Sini, Sekarang, Bersama.” Inilah tantangan sekaligus peluang PMII: tetap relevan, tetap berakar, dan tetap bergerak, dalam dunia yang terus berubah.
Selamat Harlah ke-65, PMII. Ilmu dan bakti kuberikan, adil dan makmur kuperjuangkan.
*) Penulis : Maksudi. M,M. Pengurus PKC PMII Jawa Timur