SURABAYA, nusainsider.com — Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya kembali menorehkan prestasi akademik dengan mengukuhkan Prof. Dr. M. Syahrul Borman, S.H., M.H. sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (3/7/2025).
Prosesi pengukuhan berlangsung khidmat di Auditorium Ki Mohammad Saleh, Gedung F lantai 5 Kampus Unitomo, Semolowaru. Acara ini dipimpin langsung oleh Rektor Unitomo, Prof. Dr. Siti Marwiyah, S.H., M.H., yang juga merupakan istri dari Prof. Syahrul.

Tampak hadir sejumlah tokoh penting, di antaranya Kepala LLDIKTI Wilayah VII, Prof. Dr. Dyah Sawitri, S.E., M.M., jajaran pimpinan Yayasan Pendidikan Cendekia Utama (YPCU), para akademisi, praktisi hukum, dan keluarga besar Prof. Syahrul dan Prof. Siti Marwiyah.
Pengukuhan Guru Besar ini juga mendapat dukungan langsung dari mantan Menkopolhukam, Prof. Dr. Mahfud MD, yang merupakan kakak kandung dari Rektor Siti Marwiyah.
Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Syahrul menyoroti pentingnya reformasi hukum acara dalam penanganan sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya, aturan yang ada dalam Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sudah tidak relevan dengan kebutuhan saat ini.
“Waktu yang diberikan sangat sempit. Hakim lebih disibukkan menghitung selisih suara daripada menelusuri keabsahan hasil pemilu,” tegasnya.
Ia mencontohkan bagaimana ribuan dokumen rekapitulasi serta data digital dari seluruh Indonesia harus dianalisis dalam waktu hanya dua pekan.
Dalam kondisi tersebut, “Waktu” justru menjadi hakim tak kasatmata yang mendikte proses persidangan.
“Fungsi Mahkamah Konstitusi pun tereduksi, bukan lagi sebagai penjaga konstitusi, tapi sekadar kalkulator suara,” kritik Prof. Syahrul tajam.
Sebagai solusi, Prof. Syahrul mengusulkan sejumlah perbaikan prosedural, yakni:
- Waktu pengajuan gugatan diperpanjang dari 3×24 jam menjadi dua minggu.
- Masa persidangan sengketa pemilu diperpanjang dari 14 hari kerja menjadi enam hingga tujuh bulan.
Menurutnya, penyesuaian waktu ini tidak akan mengganggu tahapan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, karena seluruh proses sudah memiliki batas waktu tegas yang diatur KPU.
Lebih jauh, Prof. Syahrul menekankan bahwa revisi hukum acara MK bukan semata-mata soal teknis, tapi menyangkut integritas demokrasi dan keadilan substantif.
Sengketa hasil pemilu seharusnya tidak diselesaikan secara tergesa, melainkan melalui proses yang transparan dan penuh kehati-hatian.
“Tanpa revisi, kita hanya akan terus memproduksi legitimasi semu dalam pemilu, tanpa kepastian hukum yang adil,” tutupnya.
Penulis : Dre