OPINI, nusainsider.com — Tagar Kembalikan TNI ke Barak bukan sekadar tren media sosial, melainkan alarm keras dari masyarakat sipil, mahasiswa, dan akademisi yang peduli terhadap masa depan demokrasi.
Revisi Undang-Undang (UU) TNI yang tergesa-gesa saat ini memicu kekhawatiran luas karena berpotensi mengembalikan era seperti Orde Baru.

Pengesahan revisi UU TNI menuai kritik karena dinilai bisa membangkitkan kembali dwifungsi ABRI yang bertentangan dengan semangat reformasi.
Salah satu aspek yang paling disorot adalah perluasan peran militer dalam urusan sipil, yang mengingatkan pada dominasi militer di masa lalu.
Proses legislasi yang terkesan terburu-buru dan minim transparansi semakin memperkuat kekhawatiran berbagai elemen masyarakat.
Minimnya Partisipasi Publik Dalam Pembahasan Revisi Uu Ini Menimbulkan Pertanyaan Besar: Apakah Demokrasi Masih Dijunjung Tinggi Ataukah Kita Sedang Menuju Kembalinya Sistem Otoritarian?

Pemerintah dan DPR seharusnya lebih terbuka dalam menyusun kebijakan yang berdampak besar pada kehidupan rakyat. Revisi UU TNI yang berpotensi mengaburkan batas antara ranah sipil dan militer harus dikaji ulang agar tidak menjadi langkah mundur bagi demokrasi Indonesia.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Sejarah menunjukkan bahwa militerisasi kehidupan sipil sering kali berujung pada penyalahgunaan kekuasaan.
Jika dibiarkan, kebijakan ini bisa membuka jalan bagi intervensi militer dalam berbagai aspek kehidupan, yang seharusnya menjadi ranah pemerintahan sipil.
Penolakan terhadap revisi UU TNI bukan sekadar soal menolak militerisasi, tetapi juga bagian dari perjuangan kelas melawan sistem yang menindas.
Gerakan buruh, mahasiswa, dan kelompok progresif lainnya harus bersatu untuk melawan upaya sistematis yang mengancam hak-hak rakyat.
Reformasi 1998 adalah perjuangan panjang yang mengorbankan banyak nyawa demi membangun demokrasi yang lebih sehat.
Jangan sampai reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata dirusak oleh kebijakan yang membawa kita kembali ke masa kelam.
Masyarakat sipil harus terus bersuara dan mengawasi kebijakan pemerintah agar tidak merugikan demokrasi.
Jika revisi UU TNI ini tetap dipaksakan, maka perlawanan yang lebih besar harus digelorakan demi mempertahankan demokrasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.
Sejarah telah membuktikan bahwa hanya melalui perjuangan kolektif, masyarakat dapat merebut kembali kontrol atas negara dan membangun sistem yang lebih adil.
Demokrasi tidak boleh dikorbankan demi kepentingan segelintir elite. Jika kita diam, maka kita sedang memberi ruang bagi kembalinya otoritarianisme.
*) Penulis : Andriyadi, SP. Aktivis Universitas Islam Malang (UNISMA) Sekaligus Pengurus Aktivis Aliansi Pemuda Reformasi Melawan (ALARM) Kabupaten Sumenep
Penulis : Andriyadi, SP