OPINI, nusainsider.com — Kunjungan kerja Kapolda Jawa Timur Irjen Pol. Nanang Avianto ke Sumenep beberapa waktu lalu mengejutkan publik. Bukan hanya karena waktunya yang bertepatan dengan penyelidikan kasus dugaan penyelewengan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) oleh sejumlah kepala desa, tetapi juga karena cara kunjungan ini dikemas: penuh protokoler, namun miskin substansi.
Yang membuat publik semakin bertanya-tanya, Kapolda Jatim disambut langsung oleh MH Said Abdullah, Ketua Banggar DPR RI – seorang elite politik nasional.

Sambutan ini bukan hanya tidak lazim, tapi juga menimbulkan kesan bahwa kunjungan tersebut bukan murni urusan kerja, melainkan sarat kepentingan dan sandiwara politik.
Publik berhak bertanya: Mengapa Kapolda datang di tengah isu hukum yang sedang panas? Apa urgensi kehadiran Ketua Banggar DPR RI dalam kegiatan tersebut? Dan, apakah semua ini tidak mengganggu jalannya proses hukum yang seharusnya dijaga independensinya?
Perlu dicatat, kasus BSPS bukan persoalan kecil. Program ini ditujukan untuk masyarakat miskin, namun diduga diselewengkan oleh aparat desa, bahkan mungkin oleh pihak-pihak di level lebih tinggi.
Di tengah kondisi ini, mestinya kehadiran pejabat tinggi justru memperkuat proses penegakan hukum. Namun yang terjadi, justru sebaliknya acara seremonial tanpa pernyataan tegas atau dukungan nyata terhadap kejaksaan yang sedang bekerja.

Ketika substansi diabaikan, simbol menjadi sorotan. Kunjungan tersebut terlihat sebagai panggung kekuasaan, bukan bagian dari upaya menghadirkan keadilan.
Simbol-simbol kekuasaan tampil mencolok, tapi tidak ada satu pun sinyal bahwa agenda ini berpihak pada rakyat atau proses hukum yang sedang berjalan.
Spekulasi pun tak bisa dihindari: Apakah ini bentuk intervensi halus? Apakah kehadiran elite politik nasional ingin menunjukkan bahwa kasus ini “sedang diurus” oleh kekuatan tertentu? Rakyat tidak menuduh, tapi mereka berhak curiga.
Terlebih, Sumenep bukan wilayah steril dari kepentingan politik menjelang tahun politik. Setiap langkah elite bisa mengarah pada strategi positioning, pengamanan jaringan, hingga negosiasi kekuasaan.
Maka, wajar bila masyarakat mencium aroma “politik sandiwara” yang dibungkus dalam kemasan kunjungan kerja.
Dalam konteks reformasi birokrasi dan supremasi hukum, kunjungan semacam ini berpotensi mencederai kepercayaan publik. Saat rakyat menunggu kejelasan dan ketegasan hukum, yang mereka saksikan justru parade kekuasaan tanpa makna.
Gestur-gestur elite semakin jauh dari aspirasi rakyat kecil yang menjadi korban utama penyelewengan.
Sebagai bagian dari masyarakat sipil, kita tidak boleh diam. Kita perlu terus mengawasi dan mengkritisi tindakan publik yang mencurigakan.
Kunjungan kerja harus membawa dampak, bukan sekadar basa-basi tanpa arah. Bila tidak, maka publik berhak menyebutnya sebagai manuver kepentingan, bukan pengabdian.
Kehadiran pejabat negara, apalagi dalam situasi rawan seperti ini, semestinya menjadi penegas komitmen terhadap hukum dan keadilan. Bukan sebaliknya, menjadi alat untuk mengamankan posisi atau melanggengkan kuasa.
Opini ini bukan serangan pribadi, melainkan seruan agar keadilan tetap menjadi panglima. Ketika simbol kekuasaan hadir, tapi substansi keadilan absen, maka suara rakyat harus menggema lebih keras: hukum tidak boleh tunduk pada kuasa.
Sumenep tak butuh panggung sandiwara elite. Yang dibutuhkan adalah kejelasan proses hukum, keberanian membela korban, dan ketegasan terhadap pelaku penyelewengan.
Dan kepada Kapolda Jatim serta seluruh aparat, masyarakat menunggu bukan hanya kehadiran fisik, tapi kehadiran nyata dalam memperjuangkan keadilan.
Kalau tidak, rakyat akan terus bertanya: Ada apa dengan kunjungan itu? Kenapa sekarang? Dan untuk siapa sebenarnya ia datang?
Penulis : Syaiful Bahri, Aktivis Aliansi Pemuda Reformasi Melawan (ALARM) Sekaligus Mantan Pengurus Cabang PMII Sumenep.
Penulis : Syaif