OPINI, nusainsider.com — Konferensi Cabang PMII Sumenep 2025 membuka kenyataan pahit yang tak lagi bisa diselimuti jargon normatif.
Hanya ada tiga kandidat: dua untuk Ketua Cabang, satu untuk Ketua KOPRI. Ini bukan sekadar dinamika biasa, melainkan Alarm keras: Regenerasi Kader Mengalami Stagnasi, Bahkan Kemunduran Serius.

PMII seharusnya menjadi rumah pertumbuhan nalar kritis dan kepemimpinan kolektif, berlandaskan nilai-nilai transformasi sosial dan keberpihakan pada kaum tertindas.
Namun ironi terjadi: di tengah banyaknya komisariat dan lulusan MAPABA, PKD, hingga PKL, hanya segelintir yang berani melangkah maju ke panggung organisasi.
Fenomena ini tidak lahir dari kevakuman kualitas kader. Ini buah dari kultur organisasi yang sistemik mengecilkan potensi kader dan membunuh inisiatif. Struktur kaderisasi yang lebih seremonial daripada substantif menyebabkan regenerasi hanya menjadi wacana, bukan realitas yang hidup.
Pelatihan-pelatihan yang digelar lebih banyak berhenti di atas modul. Internaliasi nilai dasar PMII_humanisme, keadilan, kesetaraan, dan kebebasan _jarang menjadi energi gerakan. Seusai pelatihan, kader dibiarkan bergerak sendiri, tanpa pendampingan dan ruang aktualisasi yang jelas.
Tanpa sistem pendukung yang kuat, kader bukan hanya teralienasi secara struktural, tetapi juga kehilangan rasa percaya diri untuk tampil memimpin.
Ketika ruang aktualisasi dikunci oleh logika eksklusif, regenerasi kader hanya menjadi mitos yang terus diulang dalam laporan formal.
Lebih mengkhawatirkan lagi, politik internal organisasi sering dibajak oleh logika kekuasaan eksklusif. Ruang-ruang strategis dikuasai kelompok tertentu, yang lebih mengutamakan loyalitas dan kedekatan ketimbang kapasitas dan visi. Kader di luar jejaring kekuasaan kerap menjadi penonton.
Dalam situasi seperti itu, keberanian untuk tampil bukan hanya soal mental pribadi. Ia bergantung pada ada atau tidaknya ruang yang setara. Struktur yang timpang menumpulkan semangat kompetisi sehat dan mereduksi proses kaderisasi menjadi ajang formalitas belaka.
Dalam konteks KOPRI, krisis ini terasa lebih menyesakkan. Hanya satu calon Ketua KOPRI menunjukkan betapa rendahnya keberanian politik kader perempuan dalam struktur PMII.
Padahal, PMII kerap mengklaim sebagai pembela kesetaraan gender. Faktanya, ekosistem dukungan bagi kader perempuan masih minim.
Sebagaimana dikemukakan oleh Naila Kabeer, pemberdayaan bukan sekadar membuka pintu, tetapi memastikan jalan menuju pintu itu aman dan bisa dilalui.
Kader perempuan butuh lebih dari sekadar afirmasi simbolik; mereka memerlukan kebijakan progresif dan ruang aktualisasi yang nyata.
Tanpa perubahan struktur dukungan tersebut, KOPRI akan terus terjebak dalam bayang-bayang formalitas. Kader perempuan akan terus berjuang sendirian melawan tembok kultural yang menghalangi partisipasi aktif dan kepemimpinan mereka dalam tubuh PMII.
Konfercab seharusnya menjadi momentum dialektika ide dan pertarungan gagasan, bukan sekadar ajang mengukuhkan struktur. Namun ketika kontestasi dibungkam logika transaksional dan patronase, kader-kader potensial lebih memilih mundur. Bukan apatis, mereka realistis.
Dalam struktur yang tidak adil, mereka sadar, gagasan bisa dikalahkan oleh kedekatan emosional dan integritas bisa dipatahkan oleh manuver kekuasaan. Maka, regenerasi bukan lagi soal memilih pemimpin terbaik, tetapi hanya melanggengkan dominasi kelompok tertentu.
Peran senior dan alumni dalam krisis ini tidak bisa diabaikan. Alih-alih menjadi pembimbing, sebagian mereka justru menjelma menjadi pengendali. Campur tangan berlebih membonsai kemandirian kader muda dan melemahkan identitas kolektif PMII sebagai organisasi kader sejati.
Seniorisme yang mengakar membatasi ruang inisiatif dan merusak tradisi kritis. Kader muda kehilangan otoritas politik dalam rumahnya sendiri. Alih-alih diberi ruang untuk belajar, mereka dijadikan alat bagi kepentingan lama yang tak kunjung memperbaharui dirinya.
Ke depan, reformasi PMII Sumenep harus menyasar dua ranah utama: struktur dan kultur. Secara struktural, desentralisasi kaderisasi harus dikuatkan. Komisariat harus diberdayakan sebagai pusat pertumbuhan pemimpin, bukan sekadar pelaksana agenda-agenda cabang.
Di sisi kultural, pola patron-klien harus segera diluruhkan. Setiap kader, tanpa memandang afiliasi kelompok, harus memiliki hak yang setara untuk tumbuh dan memimpin. Kepemimpinan yang lahir dari kompetisi gagasan harus dihidupkan kembali, bukan ditenggelamkan oleh pragmatisme sesaat.
Khusus untuk KOPRI, penguatan organisasi perempuan tidak bisa lagi ditunda. Dibutuhkan keberanian struktural untuk menata ulang sistem rekrutmen, pengkaderan, hingga seleksi kepemimpinan perempuan secara lebih progresif, suportif, dan berbasis meritokrasi.
PMII tidak cukup hanya membuka ruang bagi perempuan. Ia harus memastikan ruang itu aman, nyaman, dan mendorong pertumbuhan seluruh potensi kader perempuan, mulai dari level komisariat hingga cabang. Tanpa itu, cita-cita kesetaraan hanya akan menjadi slogan kosong.
Konfercab 2025 harus dibaca sebagai momentum kritis, bukan rutinitas biasa. Jika hari ini hanya tiga orang yang berani tampil, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar jabatan, tetapi masa depan organisasi. Ini adalah refleksi kolektif tentang kegagalan kita membangun sistem regenerasi sejati.
PMII Sumenep harus bangkit dengan kesadaran baru: bahwa organisasi besar bukan ditentukan oleh siapa yang memimpin, melainkan oleh seberapa kuat sistem yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin baru secara berkelanjutan, melampaui kelompok, loyalitas, dan patronase.
*) Penulis : Dauri Aziz, Waka II komisariat PMII STITA
![]()
Penulis : Dauri Aziz

















