“Narkotika Bukan Anak Kandung Modernisme”
Oleh : Arif Rahman

SUMENEP, nusainsider.com — Suryadi, Tokoh Senior, Guru jalanan, sekaligus kawan ngopi saya, menulis di beberapa media online dengan judul: ‘Orang Dalam’ dan Bisnis Haram Narkoba di Sumenep Pasca Ditangkapnya Oknum Wartawan dan Keterlibatan Polisi.
Tulisan saya ini seperti judul di atas, adalah sebuah tanggapan. Maka poin-poin penting harus saya sampaikan dengan tegas dan cermat.
Pertama, saya sepakat bahwa narkotika, apapun jenisnya, kata Rhoma adalah ancaman nyata umat manusia. “Ancaman” yang saya maksud adalah subjektivitas pribadi saya. Boleh jadi bagi orang atau kelompok lain justru sebagai berkah.
Narkotika telah benar-benar merusak struktur, hukum, politik, budaya, bahkan cara berpikir–bukan hanya bagi penggunanya, tetapi juga kita yang awam soal pahit-manis bisnis micin ini.
Oleh karenanya, beberapa hal yang saya tulis di bawah adalah ketidaksepakatan atas istilah (jika bukan sebuah keyakinan) yang telah berwindu-windu menjadi liar: orang dalam.

Kedua, saya harus mengatakan bahwa kecurigaan dan “budaya” memercayai “orang dalam” belum tentu sepenuhnya benar.
Penolakan terhadap “orang dalam” ini juga berangkat dari logika berpikir “orang dalam”.
Mari kita bertolak dari hipotesa yang di bangun Suryadi: “Artinya memang, menilik dari sejarah peredaran bisnis haram maka disitu bisa dipastikan ada keterlibatan ‘orang dalam’…”.
Istilah orang dalam biasanya diasosiasikan kepada mereka yang berada dalam satu jenis, golongan dan karena orang dalam memiliki kedekatan khusus.
KBBI mengartikan, ‘orang dalam’ adalah orang yang berada di dalam lingkungan (pekerjaan, golongan dsb) Sampai di sini masih normal.
Contoh: Saya adalah salah seorang terdekat perusahaan sayur terbesar di sumenep, kemudian ada kawan menitipkan saudaranya untuk bekerja di sana dan itu saya wujudkan.
Orang dalam pada konteks di atas masih ‘normal’. Tetapi berbeda hal dengan peredaran dan penanganan narkotika.
Narkotika selalu soal keamanan dan menghindari jerat hukum. Jika benar selalu dan pasti ada orang dalam, harusnya kita perlu berpikir dengan logika terbalik:
“Jika benar ada orang dalam, mengapa bisa tertangkap?”
Pada titik ini maka kita mesti berhati-hati mempercayai ‘orang dalam’. Ada banyak orang yang akan mengaku-ngaku ‘orang dalam’ untuk memperkaya diri.
‘Orang dalam’ paling rendah adalah satu garis di bawah pemegang kendali. Kepolisian adalah lembaga negara non kementerian, kendali tertingginya ada di Presiden, Di bawah presiden ada Kapolri.
Jika ada yang mengaku sebagai orang dalam di kepolisian, pastikan dulu, dia ‘apanya’ Kapolri. Dan itu serendah-rendahnya iman.
Terakhir, narkotika bukan anak kandung modernisme. Dia adalah anak haram ilmu pengetahuan.
Indonesia menyebutnya, Napza (Narkoba, Psikotropika, Zat Adiktif). Zat-zat itu sudah ada dan ditemukan jauh sebelum perang dunia kedua pecah.
Akhirnya, narkotika tidak pernah bertanya: warna darahmu apa, pangkatmu apa dan, uangmu berapa(?). Dia adalah mainan mafia ‘Dominium’.
Penulis : Volunteer Penerbit Koma Media, Anak Buah di LPMK