Kembalikan marwah Hukum Indonesia sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan, dan alat untuk mengkriminalisasi masyarakat sipil
Oleh: Wafdul Adif
OPINI, nusainsider.com — Hukum pada dasarnya diperuntukkan pada setiap orang yang melakukan kejahatan ataupun pelanggaran, mereka berhak mendapatkan hukuman sesuai perbuatan yang dilakukan.
Indonesia sebagai Negara hukum sudah memiliki banyak Produk hukum (Undang Undang) yang mengatur perbuatan manusia, sehingga dalam setiap pelanggaran hukum seseorang harus diberikan sanksi sesuai perbuatan yang ia lakukan, berdasarkan bunyi Undang-Undang.
Namun faktanya, penggunaan hukum tidak tepat sasaran, terkadang yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan. hal ini bisa dibuktikan dengan kondisi hukum pada saat ini, bagaimana hukum selalu digunakan untuk merefresif dan mengkriminalisasi masyarakat sipil, tentunya sudah salah kaprah dan menilai bahwa wajah hukum di Indonesia sudah kehilangan marwah.
Senada dengan penyampaian Thomas Power, ia menyampaikan bahwa salah satu bukti regresi atau kemunduran Demokrasi itu lahir dari praktik penyelahgunaan hukum itu sendiri, yang mestinya hukum dijadikan sebagai alat untuk melindungi seseorang dari kejahatan, hari ini justru hukum itu sendiri menjadi boomerang bagi masyarakat sipil.
Dalam penegakannya kita juga bisa melihat adanya ketidaknetralan para penegak hukum, baik itu jaksa hakim apalagi polisi, misalnya ketika seseorang yang berhadapan dengan hukum lalu adanya keterlibatan pemerintah, maka tidak heran lagi jika keberpihakan hukum itu terus ada, prinsip Equality Before the law atau kedudukan semua orang sama dihadapan hukum tidak lagi diperhatikan.
Prinsip ini seperti hanya ada dalam nilai-nilai teori hukum saja, tapi dalam prakteknya prinsip ini sudah tidak digunakan lagi.
Dari praktik tersebut kita menilai bahwa agenda reformasi yaitu Supremasi Hukum sudah dirusak oleh pemerintah dan penegak hukum, penegakan hukum atas suatu isu krusial yang melibatkan pemerintah (pejabat publik) mesti mengundang kritik masyarakat sipil, kasus Haris-Fatia misalnya, bagaimana seseorang yang mempunyai hak menyampaikan pendapat dimuka umum yang sudah dijamin oleh Konstitusi malah di kriminalisasi, hal ini membuktikan bahwa hukum dibuat hanya menjadi alat kekuasaan untuk mengkriminalisasi masyarakat sipil, orang yang memang mempunyai legalitas dalam mengadvokasi suatu konflik yang terjadi mengalami kriminalisasi, lalu bagaimana dengan kita yang hanya masyarakat biasa. Tentunya akan semakin dipermainkan.
Potret penegakan hukum di Indonesia semakin sewenang-wenang, pasal-pasal karet yang dijadikan sebagai alat untuk memenjarakan seseorang semakin marak, Undang-Undang ITE misalnya produk hukum yang sering dugunakan untuk mengkrimanalisi masyarakat sipil.
Berdasarkan catatan amnesty International Indonesia, sepanjang Tahun 2019-2022 terjadi 316 kasus kriminalisasi publik yang dilakukan menggunakan UU ITE dengan 332 Korban , belum lagi yang terjadi di 2023, dan saya rasa akan lebih banyak lagi jika semuanya di total.
Model seperti ini akan terus terjadi , ketika praktek keberpihakan itu terus menerus dilakukan oleh para penegak hukum, hal ini dikarenakan karna hubungan hukum dengan kekuasaan terlalu lengket sehingga semua konflik yang melibatkan pejabat publik, hukum selalu berpihak kepada mereka.
Hubungan Hukum dengan Masyarakat
Keberadaan hukum dalam masyarakat sangatlah hal yang penting, kesejahteraan, ketertiban dan keamanan tidak mungkin lahir jika terdapat masyarakat tanpa hukum, begitupun Hukum tanpa masyarakat juga tidak akan berjalan, karena subyek hukum itu sendiri adalah masyarakat.
Maka kemudian, jika ada hukum tanpa masyarakat itu sangat mustahil, kepada siapa aturan tersebut akan diberikan, oleh karena itu keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang tidak dapat dipisahkan. Namun fakta yang terjadi tidak seperti yang kita harapkan, terkadang, hukum itu sendirilah yang menimbulkan masalah bagi masyarakat, hal ini dikarenakan penggunaan hukum oleh para penegak hukum kerap disalah gunakan.
Artinya keberadaan Hukum bukan hanya untuk menyelesaikan konflik, pun juga bisa menimbulkan konflik, apabila hukum tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal.
Hukum yang seharusnya menjadi alat untuk mengontrol masyarakat dari tindakan sewenang-wenang, justru hari ini digunakan untuk menakut-nakuti masyarakat sipil, kita bisa menilai sendiri bahwa dengan segala regulasi aturan (hukum) yang diterapkan hari ini, justru menimbulkan masalah, hal ini terjadi tentunya karena dalam penyusunan peraturan perundang-undangan tidak mengikuti aturan yang sudah ditentukan.
Sehingga dalam aturan tersebut tidak ada nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat. Seperti Undang-Undang Cipta Kerja yang dibuat secara tergesa-gesa sehingga menimbulkan kontroversial dan mengundang banyak penolakan dari masyarakat, terutama buruh.
Selama ini hak masyarakat selalu di cederai oleh pemerintah dan penegak hukum. hak asasi manusia yang seharusnya dihormati (To respect), dilindungi (To protect) dan dipenuhi (To fulfill), Justru dilanggar, hal ini memperlihatkan bahwa Negara abai dalam memajukan Hak Asasi Manusia, Padahal dalam hal ini merupakan amanat Konstitusi yang diatur dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Dengan demikian harus ada perbaikan dalam tatanan hukum, politik di Indonesia, agar supaya hal-hal diatas tersebut tidak terulang kembali di masa yang akan datang.
Reformasi hukum harus cepat dilakukan, hal ini bertujuan untuk memperbaiki system hukum yang sudah menyengsarakan masyarakat, sehingga bisa menciptakan keadilan dan kesejahteraan yang sudah mencadi cita-cita warga Indonesia dari sejak awal.
Perlindungan Hukum Masyarakat
Pada dasarnya dalam kehidupan masyarakat butuh perlindungan dalam mengatur kehidupan masyarakat yang tertib dan aman, maka demikian untuk mengatasi hal itu, dibuatlah suatu aturan yang hidup dimasyarakat, sehingga masyarakat bisa melakukan segala aktivitas dengan kondusif.
Oleh karena itu keberadaan hukum menjadi penyeimbang bagi kehidupan masyarakat agar bisa teratur. Dengan perlindungan hukum tersebut, dapat memberi pengayoman terhadap masyarakat khususya masyarakat awam yang tidak tau Hukum, sehingga mereka dapat mengetahui hak asasi yang mereka miliki.
Menurut setiono, Perlindungan hukum merupakan sebuah tindakan atau upaya hukum yang diberikan terhadap masyarakat untuk melindungi dari sikap sewenang-wenang penguasa atau pemerintah yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang .
Timbulnya perlindungan Hukum tersebut lahir dari penegak hukum, oleh karena itu Penegak hukum harus paham dengan aturan yang diberlakukan (Hukum Positif), yang lebih penting lagi para penegak hukum harus melihat kondisi yang ada di masyarakat, bukan hanya melihat kepada Undang-Undang saja, seakan terasa kaku jika perlindungan hukum dan penegakannya hanya melihat pada tekstualnya (Undang-Undang), karena dengan melihat situasi Indonesia hari ini banyak peraturan yang itu bertolak belakang dengan kepentingan masyarakat, tak heran lagi jika hari ini konflik sering terjadi dimana-mana.
Sikap penegak hukum hari ini cenderung melakukan kekerasan dalam menjalankan tugasnya, pelaku kekerasan tersebut didominasi oleh polisi yang juga merupakan sebagai salah satu penegak hukum, menurut survey Komisi Orang hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), terdapat 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota polri ditahun 2022-2023 .
Hal ini memperlihatkan bahwa dalam sektor keamanan, penegak hukum masih kurang maksimal dalam memberikan perlindungan hukum, khususya polri.
Dengan kejadian tersebut yang terjadi berulang-ulang, menimbulkan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polri, bahkan jargon atau hasteg yang sering dipakai oleh masyarakat yaitu percuma lapor polisi.
Oleh karena itu gambaran diatas tersebut merupakan bagaimana Negara beserta pengurusnya hari ini tidak bisa menggunaan hukum secara demokratis, dan kita mengatakan hukum hanya menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan.
Negara Hukum demokratisme atau Negara Hukum Otoritarianisme Seperti yang ditulis oleh Harry Tjan Silalahi bahwa Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini melihat dari penegasan Soekarno sejak berdirinya republik, selain itu, hal tersebut merupakan amanat dari Konstitusi Indonesia, bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtsstaat) bukan Negara Kekuasaan (Machtstaat) ,selain itu ide tentang Negara Hukum juga di pelopori oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl yang menganggap bahwa Negara hukum adalah Negara Penjaga malam (nachtwakersstaat) artinya Negara tersebut bisa memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang berupa keamanan dan ketertiban . Namun bagi saya jika melihat kondisi Negara saat ini, dengan pola yang digunakan di Indonesia seakan tidak mencerminkan Negara Hukum yang demokratis tapi lebih kepada Negara yang otoritarianisme yang mana tindakan-tindakan yang dianggap bertentangan dan tidak demokratis dibenarkan atau dilegitimasi dalam penggunaan hukum (autocratic legalism) bahkan praktek lebih bahaya dari pelaksanaan otoritarianisme. yang menjadi bagian dari Negara Otoritarianisme juga dilihat dari bagaimana seseorang yang mengkritik dan melawan terhadap kebijakan pemerintah harus berakhir di penjara atau di kriminalisasikan. Gambaran tersebut hari ini terjadi pada masyarakat Indonesia, kebebasan untuk bersuara masyarakat sipil dibatasi dengan berbagai cara, misalnya, pada tahun 2022 polri menegaskan bahwa dalam melakukan unjuk rasa atau Demonstrasi harus memberi surat pemeberitahuan kepada polri, hal ini tentu sangat bertentangan dengan Konstitusi kita yaitu UUD 1945 yang mana hak menyampaikan pendapat dimuka umum sudah diatur dalam pasal 28E UUD 1945, meskipun dalam Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan pelayanan, pengamanan, dan penanganan perkara penyampaian pendapat dimuka umum, juga diatur dalam pasal 7, Namun dalam asas hukum tata Negara disebutkan asas lex superior derogate legi inferiori artinya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya atau peraturan yang lebih tinggi, sedangkan UUD 1945 merupakan Undang-Undang tertinggi dalam hierarki Peraturan Prundang-undangan, oleh karena itu sudah jelas bahwa peraturan dibwahnya dalam hal ini peraturan kapolri harus di kesampingkan. Dari contoh diatas tersebut kita melihat bahwa kondisi Negara ini seakan kembali ke rezim Otoriter atau kita meneyebutnya dengan Neo-Otoritarianisme, segala praktek atau perbuatan yang demokratis sudah di batasi dan perbuatan yang dianggap melanggar justru di legalkan.
Menurut Juan Linz, model dari Negara otoriter (Otoritarianism) baiasanya dipimpin oleh penguasa yang bersifat dictator artinya pemerintah yang biasanya menjadi representasi dari masayarakat sipil (civil society) dalam memberikan ketertiban dan kesejahteraan, justru malah menjadi penjahat bagi masayarakat atau melakukan hal yang tidak demokratis dengan cara memperbesar kekuasaan modal dan kekuasaan politik untuk kelompoknya sendiri. Dengan demikian situasi politik dan hukum di Indonesia hari ini seakan kembali ke zaman orde baru, setidaknya ada 3 indikator Negara yang meggunakan praktek autocratic legalism, sala satunya yaitu, pelemahan masyarakat sipil melalui penerapan UU ITE dan penegakannya (Bivitri Susanti) , artinya seringkali terjadi pada masyarakat sipil, produk hukum yang sering dijadikan senajat untuk selalu mengkriminalisasi masyarakat yaitu UU ITE, selain itu, dalam suatu konflik, penegakan hukum yang digunakan cenderung menggunakan kekerasan dengan melibatkan militer dan polri . Oleh karena itu bagi saya, suatu konflik tidak akan pernah padam jika pendekatan militerisme terus menerus dilakukan oleh Negara terhadap masyarakat sipil, justru hal ini akan semakin menimbulkan masalah bahkan akan sampai melahirkan pelanggaran Hukum atau Pelanggaran HAM, misalnya seperti yang terjadi di tanah papua.
Salam akal sehat, mejadi pemuda menjadi peduli.